Giveaway Wadah Pensil Warna

art case2

Melihat blog ini nyaris diselimuti debu saking lamanya tidak diisi (postingan terakhir 25 Maret sodara-sodara!), akhirnya di Minggu pagi menjelang siang ini saya memutuskan untuk menggelar sayembara berhadiah. Kebetulan sekarang saya lagi suka jahit-menjahit (telat banget yaa… ke mana aja selama ini), jadi lagi sering-sering latihan bikin ini-itu. Dan gilanya, saya punya teman-teman baik hati yang ‘nekat’ memercayai saya dan memesan jahitan dari saya, di tahap yang masih amat sangat amatir ini. Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, teman-teman. Pesanan kalian membuat saya jadi punya alasan untuk mencoba-coba proyek baru, dan membuat mesin jahitnya terpakai terus. Supaya seseorang (baca: suami tercinta), nggak punya alasan untuk bilang “Tuh kan,” saat melihat mesin jahitnya nganggur, soalnya dia sempat ragu waktu saya bilang mau beli mesin jahit. “Yakin 6 bulan kemudian kamu nggak bosan?” Nah kan jadi ngelantur 😀

Baiklah, giveaway kali ini adalah salah satu hasil jahitan saya, proyek sederhana berupa wadah pensil warna (atau spidol, krayon, bolpoin, bebas deh). Terinspirasi dari maraknya buku mewarnai untuk dewasa yang sekarang lagi digemari banyak orang itu. Tapi karena masih amatir, mohon maklum kalau masih ada jahitan yang miring-miring atau agak meleset sana-sini hehehe. Yang jelas, wadahnya bisa dipakai kok, sudah saya buktikan 😀

art case1

Bagaimana cara mendapatkannya? Gampang sekali. Di kolom komentar, silakan tebak berapa jumlah slot untuk pensil warna yang ada di wadah ini, beserta alasan kenapa menginginkan si wadah. Kalau yang menjawab benar banyak (untuk tebakannya), saya pilih yang pertama. Kalau tidak ada yang benar, saya pilih yang paling mendekati. Kalau yang paling mendekati banyak, saya undi. Peserta harus beralamat di Indonesia ya. Tuliskan juga akun Facebook, Path atau twitter supaya mudah dihubungi jika menang.

Jawaban saya tunggu sampai hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2015.
Selamat menebak dan semoga beruntung 🙂

“Creativity is Great, Dear”

Aku mengintip dari balik layar di panggung Minack Theater. Deretan bangku untuk kapasitas 750 penonton hampir seluruhnya terisi. Jantungku berdegup kencang seolah hendak melompat keluar dari dada. Kulayangkan pandangan ke para pemain yang sedang bersiap-siap mementaskan lakon Karno Tanding, salah satu episode paling dramatis dalam kisah Perang Bharatayudha. Sampai detik ini aku masih saja tersenyum lebar setiap kali melihat sosok-sosok berkulit putih dengan rambut pirang, cokelat, atau merah itu mengenakan kostum wayang nan anggun. Mereka begitu antusias memerankan tokoh Arjuna, Kurawa, Abimanyu, Bhisma, dan lain-lain. Bahkan mereka ingin sekali mementaskannya dalam bahasa Jawa. Tapi menurutku sebaiknya menggunakan bahasa Inggris dulu. Pelan-pelan. Bagaimanapun, teater terbuka yang dibangun di tebing Porthcurno, Cornwall ini belum pernah menampilkan cerita dari Indonesia, bahkan Asia. Kembali kukirimkan ungkapan kekaguman tanpa suara untuk Rowena Cade, perempuan dengan tekad baja yang merencanakan dan membangun sendiri teater spektakuler ini. Lalu pandanganku beralih ke charm bracelet yang tak pernah absen melingkari pergelangan tangan kananku. Gelang pemberian lelaki istimewa yang selalu menyemangatiku dengan kata-kata, “Creativity is great, dear.”

Minack Theater, Cornwall

Minack Theater, Cornwall

***

Hamparan bunga krokus di Kew Gardens, London, bagaikan bentangan karpet ungu yang tebal dan empuk. Andai tidak ada pengunjung lain, mungkin aku sudah melemparkan tubuh dan berguling-guling di sana. Karena masih punya urat malu, aku hanya berjongkok dan memeluk bunga-bunga yang mekar sembari menghirup wanginya dalam-dalam. Setelah beberapa detik dalam posisi itu, aku merasakan sepasang mata memperhatikanku. Dengan enggan aku menengadah dan melihat seorang lelaki menatapku dengan mata yang menyorotkan ekspresi geli. Aku merengut. Huh, mengganggu saja orang ini. Dengan kesal aku memelototinya. Dia mengangkat tangan tanda menyerah sambil tertawa renyah. “Maaf, maaf, tidak bermaksud mengganggu. Tapi jujur saja, sejak dulu aku ingin sekali bergulingan di karpet krokus ini, kalau tidak khawatir ditegur petugas.” Mau tak mau aku membalas tawanya dengan senyuman setengah hati. Dia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Adrian. Sebagai tanda perdamaian, dia mengajakku mencicipi carrot cake dan lemon drizzle cake di kafe Victoria Plaza yang menurutnya luar biasa enak. Aku sempat ragu karena aku tak kenal lelaki ini, meskipun dia lumayan… ehem… ganteng. Tapi sikap santai dan binar ramah matanya membuatku akhirnya mengikuti langkah-langkah lebarnya menuju kafe yang terletak di dekat gerbang Kew Gardens itu.

Treetop Walkway, Kew Gardens, London

Treetop Walkway, Kew Gardens, London

Setelah menikmati kue-kue yang memang sedap itu, kami kembali menyusuri taman luas yang semarak dengan warna-warni musim semi. Saat menapaki treetop walkway, kami sudah berbagi begitu banyak cerita rasanya seakan-akan kami sudah lama saling kenal. Adrian yang baru memulai karir sebagai penulis perjalanan untuk beberapa majalah, mengungkapkan kecintaannya pada alam dan impiannya menyambangi hutan-hutan di Indonesia. Aku yang sedang belajar di London Academy of Music and Dramatic Arts dengan malu-malu mengutarakan hasratku untuk mementaskan lakon wayang di salah satu panggung teater di Inggris. Kami berbagi kisah, berdebat, tertawa, sampai tanpa sadar jam demi jam telah berlalu sejak pertemuan awal kami. Petang itu kami berpisah dengan janji untuk bertemu lagi di lain waktu.

Minggu berganti bulan. Pertemanan kami semakin akrab dan Adrian menjadi ensiklopedia berjalanku di Inggris, membuat masa tinggalku di sana tak lagi terasa sunyi. Dan pada hari ulang tahunku, Adrian memberi kejutan dengan mengajakku ke Minack Theater di Cornwall. Aku nyaris tak bisa bersuara saat pertama kali menatap pemandangan menakjubkan itu. Kuremas tangannya sambil berbisik, “Aku ingin sekali suatu hari nanti drama karanganku bisa dipentaskan di sini.”

Adrian balas meremas tanganku dan berkata, “Tidak ada yang tidak mungkin.”

Aku menggeleng-geleng. “Itu impian yang terlalu muluk. Mana mungkin mereka menyukai kisah yang belum pernah mereka dengar?”

“Cerita wayang yang epik dan dramatis, diperankan aktor dan artis Inggris, perpaduan sempurna Barat dan Timur? Creativity is great, dear. They’ll love it. And I have loved it already.

Thanks, Ade,” ucapku penuh terima kasih.

Adrian tidak main-main. Melalui teman dari teman dari temannya yang mengenal sejumlah orang penting di teater tersebut, aku mulai merintis jalan untuk menampilkan drama karanganku di sana. Tepatnya, drama yang kutulis ulang dari lakon yang sudah amat terkenal. Aku berhasil mendapatkan waktu untuk mempresentasikan ideku di hadapan dewan pengelola teater, berusaha keras meyakinkan mereka bahwa lakon yang kupilih memiliki pesan-pesan universal yang dapat diterima semua orang dari seluruh belahan dunia.

Minggu demi minggu berlalu. Tak ada kabar apa pun dari Minack Theater. Aku mulai pasrah walaupun sesungguhnya amat kecewa. Apalagi pada saat yang sama, Adrian memperoleh kesempatan yang telah lama dinantikannya. Menuliskan perjalanan menyusuri hutan Amazon. “Bukan hutan Kalimantan, tapi ini permulaan,” katanya antusias. Aku ikut senang dan amat bangga padanya. Sungguh. Tapi mau tak mau kembali terbayang hari-hari sunyi yang menantiku di depan sana.

Sebagai perjalanan perpisahan, Adrian mengajakku ke Durdle Door di Dorset yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari London. Seraya menunjuk karang berlubang yang menyerupai pintu itu, dia berkata, “Aku senang membayangkan pintu itu bisa membawaku ke mana saja dalam sekejap. Kau tinggal mendayung perahu melewatinya dan langsung bergabung denganku di Amazon.” Aku tertawa dan memeluknya. Adrian memasangkan charm bracelet di tanganku. “Ingat aku selalu,” bisiknya. Pasti, kau tak perlu minta, kataku dalam hati.

Durdle Door, Dorset

Durdle Door, Dorset

Tiga minggu kemudian, pada hari yang sama, datang dua surel yang sama-sama mengguncang duniaku. Dewan pengelola Minack Theatre menyetujui ideku dan memintaku segera memulai persiapan pementasan Karno Tanding. Surel kedua berasal dari keluarga Adrian yang menyampaikan berita duka bahwa putra, adik, dan cucu mereka, Adrian Treadwell, terjangkit malaria di Amazon dan sayangnya tidak segera mendapatkan penanganan yang memadai sehingga…

Aku tak sanggup membaca lagi. Aku tak tahu harus terisak atau tertawa. Aku tak yakin harus bersyukur atau mengutuk. Aku menyalahkan dunia. Aku menyalahkan diriku. Aku menyalahkan Tuhan.

Aku menangis.

Dan menangis.

Dan menangis.

Hari demi hari.

Sampai suatu hari, saat terlelap dalam tidur yang gelisah, aku mendengar bandul-bandul di gelangku berdenting. Mungkin karena gerakan tanganku, mungkin karena tertiup angin, atau mungkin itu cara Adrian menegurku dan memaksaku bangkit kembali.

***

Kuusap air mata yang menitik di sudut mata. Kulayangkan pandangan ke deretan bangku yang kini sudah terisi penuh. Kuguncangkan charm bracelet di tangan hingga terdengar dentingnya yang menenangkan. Dan aku seolah mendengar suara lembut Adrian berbisik di telingaku, “Break a leg, dear.

I will, Ade. Thank you.

Lampu-lampu dipadamkan. Mungkin di Dorset sana, Adrian sedang mendayung perahu melewati Durdle Door untuk menyaksikan pementasan karya pertamaku.

Tokoh favorit di Game of Thrones: Daenerys Targaryen
Dia contoh sempurna orang yang tak kenal kata menyerah. Meskipun awalnya terkesan lemah, naif, dan tak punya kekuatan apa pun, namun tempaan hidup yang berat malah membuatnya semakin tegar dan kuat. Bahkan dia berhasil menghimpun ribuan prajurit dari nol. Ditambah lagi, dia satu-satunya penguasa naga yang masih hidup. Tak ada yang bisa mengalahkan perempuan perkasa ini kecuali kematian itu sendiri.

Diikutsertakan dalam kompetisi “Creativity is Great” dari Fantasious dan British Embassy Jakarta.
11062328_408576239316292_6780605576101539947_n

Hasil Survei Novel Terjemahan

577317_10202043530077978_841476683_n

Alhamdulillah, selesai juga merekap hasil survei novel terjemahan yang diluncurkan beberapa waktu lalu. (Kayak berat banget ya usahanya. Padahal mah… emang lumayan 😀 ) Penasaran? Kepingin tahu hasilnya? Silakan dibaca ringkasannya berikut ini. Jangan bosan ya, karena banyak sekali masukan, saran, dan kritik yang bagus untuk para penerjemah.

Jumlah Responden: 100

Q1 Seberapa sering membaca novel terjemahan?
Jarang (15)
Kadang-kadang (24)
Sering (61)

Q2 Apa yang disukai dari novel terjemahan?
1. Jawaban terbanyak: karena memang menyukai novel aslinya / lebih menyukai novel karangan penulis luar dalam hal tema, ide cerita, penokohan, gaya bahasa, dll.
2. Masih berkaitan dengan alasan pertama, novel terjemahan disukai karena dapat menambah wawasan tentang budaya asing dan memudahkan pembaca untuk mengenal khazanah sastra luar negeri.
3. Novel terjemahan juga disukai karena menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu pembaca, sehingga lebih mudah dipahami dan proses membaca juga lebih cepat dibandingkan jika membaca buku aslinya. Selain itu, pemilihan kata dalam novel terjemahan juga lebih bervariasi. Kadang malah menemukan kata-kata bahasa Indonesia yang hanya ditemukan dalam novel terjemahan.
4. Lebih mudah didapatkan dibanding buku aslinya, dan umumnya lebih murah. Atau mengutip jawaban salah satu responden, “Novel terjemahan memungkinkan saya membaca novel internasional dengan harga lokal.” Continue reading

Kuis Looking for Alaska

Di tengah kegembiraan merayakan Idul Fitri dan kesibukan mudik bagi mereka yang menjalankannya, saya mau bagi-bagi dua eksemplar novel suntingan terbaru saya, Looking for Alaska karangan John Green. Teman-teman sudah pada tahu ceritanya tentang apa kan? Kalau belum silakan konsultasi ke Mbah Google 😀

10443513_10204305081095340_2945770222390678617_n

Caranya mudah saja. Di kolom komentar, ceritakan pengalaman paling lucu yang pernah ‘menimpa’ teman-teman sewaktu mudik. Tidak perlu panjang-panjang. Kalau bisa singkat tapi mengena, asyik banget tuh. Kuis ini tidak terbatas untuk teman-teman yang mudik saat Idul Fitri saja lho. Mudik kan bisa dilakukan dalam kesempatan apa pun dan oleh siapa pun, ke mana pun tujuannya, bahkan meski cuma dalam satu kota.

Pokoknya saya tunggu ceritamu yang paling kocak. Lumayan kan, buat bacaan saya dalam perjalanan mudik, dan jadi hiburan kalau saya terjebak macet hehehe. Selain buku, Insya Allah bakal ada hadiah tambahan oleh-oleh mudik dari saya. Sekalian untuk merayakan ulang tahun, begitulah. Oiya, jangan lupa sertakan akun twitter atau facebook, supaya mudah dihubungi jika menang.

Cerita kocak teman-teman saya tunggu sampai tanggal 5 Agustus pukul 00.00 ya, dan pemenangnya akan diumumkan tepat di hari ulang tahun saya. Kapankah itu? Silakan dicari tahu sendiri hahaha *nyebelin*

Selamat bercerita!

Mengejar Enid

 

enid-blyton-10

Enid Blyton bersama mesin tiknya yang selalu menemani

Seperti banyak orang seumurku, masa kecilku tak lepas dari buku-buku Enid Blyton yang begitu berlimpah. Sepanjang hidupnya, Enid Blyton menulis 700 buku dan sekitar 4500 cerita untuk anak-anak. Sampai sekarang, aku dan sahabatku Bridget, yang tinggal di London, tak pernah bosan membicarakan kisah-kisah karangan Enid setiap kali kami mengobrol jarak jauh. Namun belakangan ini, obrolan kami menghangat lantaran kami mendengar selentingan bahwa Enid pernah menulis novel dewasa namun tidak pernah dipublikasikan dan keberadaan naskah tersebut tidak diketahui. Enid Blyton? Yang tak pernah memedulikan komentar orang dewasa mengenai buku-bukunya? Yang menganggap kritik dari orang di atas usia 12 tahun tak layak didengar? Selentingan itu sungguh mengusik rasa penasaran kami. Bukan karena kami ingin merusak citra Enid sebagai penulis kecintaan anak-anak, namun kami ingin membuktikan bahwa Enid bisa menulis dengan diksi dan plot yang lebih kompleks, untuk membantah hujatan banyak orang bahwa tulisan Enid terlalu sederhana dan mudah ditebak. Apalagi, kabarnya dalam novel itu Enid menyisipkan kisah hidupnya sebagai ibu dari Gillian dan Imogen. Mungkin akhirnya para penggemar Enid bisa tahu, benarkah ia ibu yang buruk dan hanya mencintai anak-anak dalam dunia khayalnya tapi tidak menyukai mereka di dunia nyata?

***

Pukul 4 sore itu aku menerima pesan WhatsApp dari Bridget. Coba tebak, tulisnya. Aku dapat e-mail dari seorang anggota Enid Blyton Society. Dia bersedia menemuiku besok!!! Aku langsung terjaga penuh. Sudah beberapa lama kami menyurati perkumpulan rahasia dan tertutup itu, menanyakan benar-tidaknya selentingan tentang novel dewasa Enid. Tapi mereka tak pernah menanggapi surat kami. Kami maklum jika mereka terkesan menutup-nutupi, karena mereka tentu ingin menjaga ‘kemurnian’ Enid Blyton sebagai penulis buku anak-anak.

Akhirnya!!! balasku penuh semangat. Di mana kalian akan bertemu?

Dia minta bertemu di Upper Deck. Dia hati-hati banget, enggak mau nyebut nama. Cuma Fatty, Bridget membalas lagi.

Fatty…seperti Fatty di serial Pasukan Mau Tahu? Itu salah satu serial karangan Enid.

Yup, aku yakin begitu, jawab Bridget.

Kau harus ceritakan semuanya padaku besok, ketikku cepat-cepat.

Pasti! Kalau perlu, kurekam semua buatmu, balas Bridget lalu menambahkan ikon senyum.

Upper Deck @ HMS Belfast

Upper Deck @ HMS Belfast

Esok harinya, aku tidak konsentrasi mengerjakan apa pun. Aku tak sabar menunggu laporan dari Bridget. Pukul 4 sore, sekitar pukul 10 pagi di London, ponselku berbunyi menandakan masuknya pesan WhatsApp. Dari Bridget.

Aneh banget! tulisnya.

Kenapa?

Barusan aku ke sini. Dia mengirim foto, yang langsung kubuka. Upper Deck Bar and Cafe, yang terletak di kapal museum HMS Belfast, dengan pemandangan ke Tower Bridge, Tower of London dan City Hall. Fatty cuma meninggalkan pesan untukku, yang dititipkan ke salah seorang pelayan. Sepertinya dia benar-benar tak mau kita tahu jati dirinya.

Kau tahu sendiri perkumpulan mereka sangat tertutup. Mungkin Fatty bertindak tanpa sepengetahuan anggota lain, balasku.

Mungkin
, sahut Bridget. Aku cari tempat dulu untuk baca pesan ini. Sebentar lagi kukontak.

Camden Passage, Islington

Camden Passage, Islington

Hei, panggil Bridget setengah jam kemudian.

Kamu di mana? tanyaku.

Dia mengirim foto lagi. Aku di kafe di Camden Passage, pasar barang antik. Kamu pasti suka banget di sini. Aku mengomentari fotonya yang keren. Oke, kembali ke topik. Ini aneh banget. Pesannya malah kayak puisi, tulis Bridget.

Oh, ya? Coba kaubacakan. Sesaat kemudian aku mendengarkan pesan suara dari Bridget, yang membacakan dua bait puisi berima. Setelah selesai, terdengar bunyi kriuk-kriuk yang sudah tak asing. Bridget, kamu pasti ngemil keripik kentang lagi, ketikku disertai ikon tertawa.

Kami pernah membicarakan betapa orang Inggris begitu tergila-gila pada keripik kentang, atau potato crisp istilah mereka. Meskipun berasal dari Amerika, namun hanya di Inggris kita bisa menemukan kemasan keripik kentang dalam berbagai ukuran dan rasa di hampir semua tempat ‘jualan’ yang bisa terpikirkan. Dan variasi rasanya luar biasa sinting, menurutku, yang diamini Bridget dengan sepenuh hati.

Hari ini kau makan yang rasa apa? tanyaku.

Jalapeno & coriander, sahutnya. Aku juga beli yang rasa pickled onion untuk nanti.

Cabai dan ketumbar? Acar bawang? Sinting! tulisku.

Memang 😀 , dia membalas. Oke, jadi apa menurutmu arti pesan Fatty?

 

Pesannya berbunyi seperti ini:
Di tempat mata dapat melihat
Jauh sampai ke Kastel Windsor
Ia berputar tak terlalu cepat
Bila kau takut tinggi, bersiaplah untuk gemetar

Malam belum lagi datang
Namun siang telah menghilang
Sebelum lima aku berada
Mudahnya bagai dua dikali dua

 

Kurasa itu lokasi dan waktu pertemuan berikutnya, tulisku. Bait kedua cukup mudah. Sebelum lima dan hasil perkalian 2×2, jelas 4. Sebelum malam dan sesudah siang, jelas sore. Jadi jam 4 sore.

Bridget langsung membalas, Aku setuju! Tinggal memecahkan pesan di bait pertama. Kita pikirkan bareng ya. Sekarang aku harus bertemu teman dulu di The Savoy, katanya.

Woow…fancy! 😉 godaku.

Yang fancy temanku, aku cuma numpang ngemil heheheketiknya.

Aku langsung membayangkan The Savoy dari foto-foto yang pernah kulihat. Seratus dua puluh tahun setelah hotel itu pertama kali memukau London dengan kemewahan dan keindahannya, The Savoy kini dibuka kembali setelah menjalani restorasi paling ambisius dalam sejarah Inggris. Kubayangkan Bridget dijamu temannya dengan penganan lezat seperti scone panas berlumur mentega, pai daging, cake buah, salad telur, kentang dengan mentega dan taburan parsley… hmm, itu sih deskripsi makanan di buku-buku Enid Blyton, pikirku sambil tertawa.

Pukul 6.30 malam atau pukul 12.30 siang di London, Bridget kembali mengirim pesan WhatsAppKali ini berupa foto disertai tulisan Lihat, lihat. Cepat lihat!!!

Aku membuka foto itu dan melihat interior The Savoy yang nyaman dan elegan.

The Savoy Hotel

The Savoy Hotel

Iyaa bagus hotelnya, ketikku, agak bingung mengapa Bridget begitu bersemangat menunjukkan foto tersebut.

Bukan hotelnya, lihat ke luar jendela, balasnya cepat.

London Eye? tanyaku.

Ingat bait pertama? Di tempat mata dapat melihat. London Eye, mata London. Kalau hari cerah, kita bisa melihat sampai sejauh Kastel Windsor. Dan memang tidak cepat, pergerakannya hanya 26 cm per detik. Tapi kalau takut ketinggian, sudah pasti bakal gemetar,  tulis Bridget panjang lebar.

Aku menyeringai senang. Brilian, Bridget! pujiku. Tapi masih cukup lama sebelum jam 4 sore.

Iya, aku bisa jalan-jalan di Trafalgar dulu sebentar, sekalian mempersiapkan diri untuk pertemuan nanti, sahutnya.

Trafalgar Square

Trafalgar Square

Bridget kembali mengirimiku foto Trafalgar Square, yang tak pernah bosan kulihat. Di pusat ruang publik yang terletak di City of Westminster ini, terdapat Nelson’s Column yang dijaga empat patung singa di dasarnya. Selain menjadi tempat berkumpul warga dalam acara besar seperti perayaan Tahun Baru, alun-alun ini juga kerap digunakan sebagai tempat menggelar demonstrasi politik.

Pasti kau makan keripik kentang lagi deh, tuduhku sambil terkekeh, yang dibenarkan oleh Bridget. Tentu saja dia tak bisa mendengarku terkekeh 😀

Harus, persiapan untuk pertemuan penting, kilahnya sambil menunjukkan varian rasa aneh lagi. Chardonnay wine vinegar dan aloo masala (masakan kari sayur dari India). Aku menggeleng-geleng geli.

Kami mengobrol ke sana kemari untuk menghabiskan waktu, termasuk tentang keinginanku memborong semua varian rasa keripik kentang yang aneh-aneh itu bila berkesempatan pergi ke Inggris. Cari yang halal, tentu saja 🙂

Pemandangan dari kapsul London Eye

Pemandangan dari kapsul London Eye

Pukul 11 malam atau pukul 5 sore di London, Bridget melaporkan bahwa sama sekali tidak ada yang mendatanginya di area London Eye. Tadinya kami mengira, Fatty sengaja memperhatikan dari jauh saat Bridget datang ke Upper Deck, untuk mengetahui seperti apa rupa sahabatku itu.  Lalu dia baru akan menemui Bridget di London Eye. Tapi lewat satu jam dari waktu yang ditentukan, tak ada siapa pun yang menghampiri Bridget. Maka dia berinisiatif menaiki ferris wheel raksasa itu, dengan harapan dapat menemukan petunjuk di atas sana. Dan seperti biasa, dia mengirimkan foto untukku.

Mungkin Fatty benar-benar ingin memastikan kita serius. Dia sengaja mengawasi dulu, ingin melihat apakah kita mampu memecahkan pesannya, kataku menghibur diri, sekaligus menghibur sahabatku.

Mungkin, sahut Bridget. Meskipun hanya berbalas tulisan, aku merasa bisa mendengar nada kecewa. Aku pun pasti akan kecewa, apalagi dia sudah berkeliling London sejak pagi. Atau mungkin kita salah mengartikan pesan Fattysambungnya.

Aku tercenung, kemungkinan itu tak terpikirkan olehku.

Beberapa saat kemudian, Bridget kembali mengirim pesan. Uci, ternyata kita benar datang ke sini. Petugas penjual karcis mendatangiku setelah aku turun. Ada pesan lagi dari Fatty!!

Bacakan!! ketikku tak sabar.

 

Ini bunyi pesannya:
Aku masih berdiri, aku masih terpelihara
Tak sampai dua jam dari ibukota
Enid memakai namaku untuk salah satu bukunya
Karena aku membuatnya begitu bahagia

 

Baiklah, aku mesti cari tempat yang tenang dulu. Nanti aku kontak lagi, tulis Bridget setelah mengirimkan pesan suara tadi.

Bridget, jangan lupa makan. Kau sudah berkeliaran dari pagi, aku menasihati. Aku pun mulai lapar dan agak capek karena terus-menerus tegang menunggu laporan Bridget.

Pasti! Kau juga ya. Sekarang pasti sudah larut di Jakartabalas Bridget.

Daunt Books, Marylebone

Daunt Books, Marylebone

Pukul 1 pagi atau pukul 7 malam waktu London, Bridget mengirimkan foto Daunt Books, salah satu toko buku paling cantik di London, dengan rak-rak panjang dari kayu ek dan kaca atap yang anggun.

Kupikir yang dimaksud Fatty adalah judul salah satu buku Enid, tulis Bridget memulai percakapan. Enid selalu memasukkan tempat-tempat dan pengalaman-pengalaman nyata dalam hidupnya sebagai inspirasi buku-bukunya.

Aku setuju, sahutku. Coba kita ingat-ingat buku Enid yang judulnya menggunakan nama tempat. Dan harus tempat yang membuat Enid bahagia, kataku lagi. Aku yakin di sanalah Enid menyimpan naskah novel dewasanya yang tak pernah diketahui orang. 

Setelah berdiskusi, kami sepakat ada satu tempat yang mungkin dimaksudkan Fatty dalam pesannya. Kastel Corfe di Dorset, tempat yang selalu didatangi Enid untuk berlibur dan menjadi inspirasi untuk Kastel Kirrin dalam serial Lima Sekawan. Dorset bahkan sudah dianggap sebagai “desa-nya Enid Blyton”.

Jalur kereta api Swanage dengan Kastel Corfe di latar belakang

Jalur kereta api Swanage dengan Kastel Corfe di latar belakang

Tapi, perjalanan dari London ke Dorset lebih dari dua jam, baik naik kereta maupun mobil, tulis Bridget beberapa saat kemudian. Aku rasa bukan itu.
 
Bridget, ada bagian khusus koleksi buku Enid di Daunt Books? tanyaku.

Ada, aku dari tadi berdiri di depannya, sahut Bridget.

Seingatku ada satu tempat yang pernah menjadi rumah Enid tahun 1920-an, aku mengetik. Enid sangat bahagia di sana, bahkan menyebutnya rumah negeri dongeng dan menuliskannya ke dalam buku dengan judul sama. Kalau tak salah, rumah itu masih terpelihara rapi sampai sekarang. Old  Tect? Old Tacht? kataku menebak-nebak.

Oh, kau benar!! balas Bridget. Old Thatch Gardens, di Buckinghamshire. Hanya satu jam lebih sedikit dari London, dan aku seolah kembali mendengar semangat yang meluap-luap dari tulisannya.

Old Thatch Gardens, Buckinghamshire

Old Thatch Gardens, Buckinghamshire

Lalu, satu jam kemudian, aku mendapat pesan yang mengejutkan dari Bridget. Setelah mengambil buku yang dimaksud dari rak, Bridget meninggalkannya di meja baca untuk pergi ke toilet. Ketika dia kembali, seseorang telah meninggalkan pesan yang diselipkan di balik sampul. Pesan itu berbunyi: Bagus sekali! Kau sudah menebak dengan benar semua pesanku. Aku terkesan. Tapi sebelum berangkat ke Old Thatch, pastikan dulu tempat itu masih ada.  –Fatty-

Bridget kaget bukan kepalang. Dia sama sekali tak menyangka Fatty membuntutinya sejak dari London Eye. Terlebih lagi, dia sangat yakin Old Thatch masih berdiri dan masih menjadi tujuan wisata walaupun memang tidak setiap hari buka, karena tempat itu sebenarnya milik pribadi. Apa maksud pesan Fatty?

Tanpa membuang waktu, Bridget menelepon teman-teman dan kenalannya yang kemungkinan mengetahui status rumah bersejarah tersebut, atau bisa membantunya menghubungi pihak yang kompeten. Karena sudah malam, Bridget tidak mungkin menghubungi nomor telepon resmi Old Thatch Gardens. Dan jawaban yang diterimanya sungguh tak terduga. Pondok Old Thatch yang cantik ternyata sudah dijual oleh pemiliknya, dan dua bulan lagi akan dirobohkan, entah untuk apa. Kami cemas nasibnya akan sama seperti rumah Enid lain yang ditempati hingga menjelang akhir hayatnya, Green Hedges, yang kini dijadikan area perumahan dan hanya menyisakan sebentang jalan bernama Blyton Close sebagai pengingat.

Uci, kau harus segera ke sini, pinta Bridget dan aku seolah mendengar nada putus asa dalam tulisannya. Aku tak mungkin melanjutkan pencarian ini sendirian 😥 Kalau kita tak segera bergerak, warisan terakhir Enid Blyton akan lenyap dari muka bumi, dan untuk selamanya dia akan dikenal sebagai ibu yang jahat, nightmare mother!

Aku termenung muram. Kelelahan yang sejak tadi tak kurasakan mendadak menyerbu dan membuatku terduduk lemas. Bagaimana caranya aku bisa menemui Bridget di London? Dengan tabungan yang kumiliki saat ini, rasanya mustahil aku bisa segera berangkat ke sana. Apa yang harus kulakukan?

Lalu pandangan mataku tertuju ke tumpukan camilan di meja. Aku memang bukan orang Inggris, tapi soal tergila-gila pada keripik kentang, rasanya aku sama saja dengan Bridget. Dan ide pun itu melintas di benakku, membuatku kembali tersenyum. Keripik kentang telah menyatukan kami, keripik kentang pula yang kuharap dapat membawaku ke Inggris. Mengejar Enid, menyelamatkan warisannya bersama sahabatku. Kuambil bungkus-bungkus camilan itu dan berpose di depan koleksi buku Enid Blyton kesayanganku. Lalu aku menulis pesan untuk Bridget.

Bridget, tunggu aku…. Kuklik tombol send disertai doa dan harapan….

 

photo0495

Diikutsertakan untuk Blog Contest “Ngemil Eksis Pergi ke Inggris”
Ngemil Eksis ke Inggris

 

 

Diary Princesa : Ketika Cinta Tidak Hitam-Putih

photo0448Judul : Diary Princesa
Penulis : Swistien Kustantyana
Penyunting : Laras Sukmaningtyas
Penerbit : Ice Cube
Cetakan : Pertama, Februari 2014

 

Saya tidak suka Princesa. Serius. Susah banget simpati sama tokoh utama dalam novel ini. Tapi saya salut sama penulisnya, karena berani bikin tokoh utama yang ‘nyebelin’. Kisahnya sendiri tentang pasang-surut hubungan kakak-beradik Jinan dan Princesa. Seperti layaknya diary, berbagai peristiwa diceritakan mulai masalah pacar, sahabat, sekolah, sampai hubungan orangtua mereka yang jauh dari harmonis. Dan meski Cesa termasuk cewek populer karena cantik, pintar, dan baik hati, namun sebenarnya hidup Cesa terpusat pada kakaknya, Jinan, yang mengidap bipolar disorder (gangguan mental yang ditandai dengan perubahan mood sangat ekstrem). Suasana hati Cesa selalu ikut terpengaruh mood kakaknya yang tak dapat ditebak.

Ketika saya tanya apakah karakter Jinan menggambarkan dirinya sendiri, yang kata orang ‘meledak-ledak’, begini jawaban Swistien:
“Betuuulll. Pernah ada yang bilang kalo novel pertama itu pastilah novel curhat si penulis, hahaha. Itu beneran novel curhat. Jadi ya aku banget. Dan Cesa itu adikku. Jadi pernah ada yang komen kalo aku jahat kok bikin tokoh Cesa jadi nyebelin gitu. Lah emang ada orangnya kok. Adikku aja ketawa-ketawa bacanya. Dia gak protes,  emang dia banget kok.”

Kalau masih ingat, beberapa waktu lalu film The Silver Lining Playbook sukses menyedot perhatian baik secara komersil maupun di ajang penghargaan. Film yang diangkat dari novel itu juga menampilkan tokoh yang mengidap gangguan bipolar. Swistien mengakui bahwa dia memang terinspirasi film tersebut, dan memberi ‘peran’ cukup besar untuk film itu dalam novelnya.

Lalu mengapa memilih bercerita dari sudut pandang Cesa, bukan sudut pandang Jinan yang mungkin lebih ‘ruwet’?
“Karena meniru novel Luna-nya Julie Ann Peters. Aku tergila-gila sama novel itu jadinya pengen niru aja. Nulis dengan teknik yang sama. (1) Nulis tentang kakaknya dari pov adeknya. (2) Nulis pakai flashback.”

Pada satu titik, kakak-adik yang berbeda 180 derajat ini tak dapat menghindari kenyataan bahwa mereka menyukai cowok yang sama. Dan hubungan mereka yang selama ini sangat erat, meskipun penuh gejolak, kembali diuji. Berbagai peristiwa di masa lalu yang muncul ke permukaan setelah sekian lama berusaha disingkirkan, membuat Cesa terpaksa mempertanyakan apakah benar dia yang selalu berkorban dan mengalah pada Jinan.

Secara keseluruhan, saya suka cara Swistien bercerita. Tema yang diangkat juga menarik, tentang hubungan kakak-adik yang  penuh tantangan dan tak selalu semanis madu. Memang hidup ini tidak hitam-putih, sebesar apa pun kasih sayang kita pada seseorang, tetap akan ada ego yang bermain. Sempat agak bosan karena kegiatan sosial Cesa kok cuma nonton dan nonton melulu. Tapi mungkin pilihan acara kencan di Jakarta yang paling gampang memang nonton di bioskop kali yaa 😀

Jadi, Diary Princesa adalah novel yang manis namun tetap realistis. Ending-nya mungkin bakal membuat beberapa pembaca nggak rela (termasuk saya). Tapi rupanya itu salah satu syarat lomba di mana naskah novel ini diikutsertakan, jadi ya mesti diterima hehehe.

Oiya, satu hal yang agak mengganggu bagi saya (radar editornya nggak bisa dimatiin :P) adalah penulisan ‘masuk ke dalam kamar/ruangan/dsb’. Seharusnya cukup ‘masuk ke’ saja. Yang lain-lainnya sih nggak terlalu mengganggu.

Good job, Tien. Ditunggu novel selanjutnya.

3 bintang

100 Buku Untuk Seumur Hidup

IMG-20140329-WA0003Saya tidak tahu apakah akan melanjutkan membaca buku ini. Sekarang sih masih mandek. Tapi sebenarnya saya sangat suka temanya. Buku ini bisa dibilang semacam jurnal Will Schwabbe mengenai hari-hari terakhir ibunya, Mary Anne, yang menderita kanker pankreas. Jauh sebelum Mary Anne sakit, ibu-anak ini sudah sering berbagi tentang buku-buku yang mereka baca, karena keduanya pembaca kelas berat. Namun sejak ibunya sakit, kegiatan ini menjadi semakin intens karena…yah…buku apa pun yang sedang mereka baca bersama saat itu bisa jadi merupakan buku terakhir yang akan dibaca ibunya. Maka muncullah ide Will untuk ‘membentuk’ klub buku yang hanya beranggotakan dua orang. Sambil menemani ibunya kemoterapi, atau sekadar saling bertelepon di tengah kesibukan masing-masing (ibunya aktivis sosial dengan jadwal yang luar biasa padat), mereka bertukar kesan dan pendapat tentang sebuah buku. Dan membahas buku ternyata membuka jalan bagi mereka untuk membicarakan kehidupan, orang-orang yang mereka sayangi, masa lalu dan masa kini, yang mungkin tidak akan pernah mereka bicarakan andai tidak ada klub buku.

No matter where Mom and I were on our individual journeys, we could still share books, and while reading those books, we wouldn’t be the sick person and the well person; we would simply be a mother and a son entering new worlds together. (hal. 32) Continue reading

The Virtue of Writers

What I admire from the writers, aside from the magic they bring into their work, is their capacity to capture the secrets of life, the emotion and feeling that may enclose us everyday but we fail to care. Every time I read something quote-worthy in a book, I always wonder How do they know? Have they experience it all? How can they rephrase an emotion or feeling in such a way that makes us believe that that exactly how we felt or would feel in the same situations?  It seems impossible that a single person could portray a wide range of human emotion: sadness, jealousy, happiness, hatred, pride, inferiority, greed, desire, sincerity, and so on and so forth…with words that make so much sense we believe everything they say.

For example, a while ago I read The Husband’s Secret, a novel by Liane Moriarty, and came across these statements: Continue reading

Sepuluh Hal Penting Saat Menerjemahkan Fiksi

Berkaca dari pengalaman saya beberapa waktu lalu, pengalaman yang bikin saya cukup panas-dingin karena baru pertama kali merasakan ‘berhadapan langsung’ dengan penulis yang bukunya saya terjemahkan, sepuluh poin yang dipaparkan John McGlynn dari Yayasan Lontar dalam seminar On the Road to Frankfurt: How Translations Travel yang berlangsung tanggal 24 Maret lalu di Gedung Kompas Gramedia menurut saya layak dicatat (Duh, panjang sekali kalimat ini. Tolong diedit :D)

Berikut kesepuluh hal penting tersebut:

Translate, write and rewrite — Menerjemahkan, menurut saya, bisa dibilang sama dengan menulis ulang. Itu sebabnya terjemahan fiksi yang harfiah tentu tidak enak dibaca, karena…

Pay respect to original but honor the target language — Penerjemah wajib menghormati bahasa asli tapi juga harus menghargai bahasa target. Usahakan agar naskah yang kita terjemahkan bisa terbaca seolah-olah ditulis oleh orang Indonesia sendiri, bukan disadur dari naskah asing. Hargai pula panduan-panduan yang kita miliki sebagai penerjemah bahasa Indonesia, misalnya KBBI. Tentunya dengan tetap mengindahkan ‘suasana’ yang dibangun penulis dalam novel asli.

Continue reading

A Trip Down Memory Lane

IMG-20140313-WA0001_001Peti harta karun ini sudah 15 tahun lebih menemani saya. Dan isinya memang benar-benar harta karun, karena segala macam barang yang menurut saya berkesan atau ada ceritanya, semua saya cemplungin ke situ. Tumpukan diary, makalah-makalah kuliah, tiket-tiket pesawat, tiket-tiket konser, surat-surat, kartu-kartu, sampai karcis-karcis bioskop yang sekarang sudah tidak terbaca lagi tulisannya.

Tapi namanya juga tidak ada yang abadi ya, akhirnya peti bersejarah ini kalah sama rayap. Dan saya nyadarnya setelah sudah cukup banyak isinya yang hancur. Alhasil semalaman saya mengaduk kenangan demi kenangan yang tersimpan di dalamnya (ceileh bahasanya :D).

Dari benda-benda yang berhasil diselamatkan, nggak semuanya saya simpan lagi. Diary-diary galau penuh keluh kesah remaja saya putuskan untuk disingkirkan saja. Malu ah kalau suatu hari nanti dibaca sama anak cucu hahaha Continue reading