Hasil Survei Novel Terjemahan

577317_10202043530077978_841476683_n

Alhamdulillah, selesai juga merekap hasil survei novel terjemahan yang diluncurkan beberapa waktu lalu. (Kayak berat banget ya usahanya. Padahal mah… emang lumayan 😀 ) Penasaran? Kepingin tahu hasilnya? Silakan dibaca ringkasannya berikut ini. Jangan bosan ya, karena banyak sekali masukan, saran, dan kritik yang bagus untuk para penerjemah.

Jumlah Responden: 100

Q1 Seberapa sering membaca novel terjemahan?
Jarang (15)
Kadang-kadang (24)
Sering (61)

Q2 Apa yang disukai dari novel terjemahan?
1. Jawaban terbanyak: karena memang menyukai novel aslinya / lebih menyukai novel karangan penulis luar dalam hal tema, ide cerita, penokohan, gaya bahasa, dll.
2. Masih berkaitan dengan alasan pertama, novel terjemahan disukai karena dapat menambah wawasan tentang budaya asing dan memudahkan pembaca untuk mengenal khazanah sastra luar negeri.
3. Novel terjemahan juga disukai karena menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu pembaca, sehingga lebih mudah dipahami dan proses membaca juga lebih cepat dibandingkan jika membaca buku aslinya. Selain itu, pemilihan kata dalam novel terjemahan juga lebih bervariasi. Kadang malah menemukan kata-kata bahasa Indonesia yang hanya ditemukan dalam novel terjemahan.
4. Lebih mudah didapatkan dibanding buku aslinya, dan umumnya lebih murah. Atau mengutip jawaban salah satu responden, “Novel terjemahan memungkinkan saya membaca novel internasional dengan harga lokal.” Continue reading

Kuis Looking for Alaska

Di tengah kegembiraan merayakan Idul Fitri dan kesibukan mudik bagi mereka yang menjalankannya, saya mau bagi-bagi dua eksemplar novel suntingan terbaru saya, Looking for Alaska karangan John Green. Teman-teman sudah pada tahu ceritanya tentang apa kan? Kalau belum silakan konsultasi ke Mbah Google 😀

10443513_10204305081095340_2945770222390678617_n

Caranya mudah saja. Di kolom komentar, ceritakan pengalaman paling lucu yang pernah ‘menimpa’ teman-teman sewaktu mudik. Tidak perlu panjang-panjang. Kalau bisa singkat tapi mengena, asyik banget tuh. Kuis ini tidak terbatas untuk teman-teman yang mudik saat Idul Fitri saja lho. Mudik kan bisa dilakukan dalam kesempatan apa pun dan oleh siapa pun, ke mana pun tujuannya, bahkan meski cuma dalam satu kota.

Pokoknya saya tunggu ceritamu yang paling kocak. Lumayan kan, buat bacaan saya dalam perjalanan mudik, dan jadi hiburan kalau saya terjebak macet hehehe. Selain buku, Insya Allah bakal ada hadiah tambahan oleh-oleh mudik dari saya. Sekalian untuk merayakan ulang tahun, begitulah. Oiya, jangan lupa sertakan akun twitter atau facebook, supaya mudah dihubungi jika menang.

Cerita kocak teman-teman saya tunggu sampai tanggal 5 Agustus pukul 00.00 ya, dan pemenangnya akan diumumkan tepat di hari ulang tahun saya. Kapankah itu? Silakan dicari tahu sendiri hahaha *nyebelin*

Selamat bercerita!

Diary Princesa : Ketika Cinta Tidak Hitam-Putih

photo0448Judul : Diary Princesa
Penulis : Swistien Kustantyana
Penyunting : Laras Sukmaningtyas
Penerbit : Ice Cube
Cetakan : Pertama, Februari 2014

 

Saya tidak suka Princesa. Serius. Susah banget simpati sama tokoh utama dalam novel ini. Tapi saya salut sama penulisnya, karena berani bikin tokoh utama yang ‘nyebelin’. Kisahnya sendiri tentang pasang-surut hubungan kakak-beradik Jinan dan Princesa. Seperti layaknya diary, berbagai peristiwa diceritakan mulai masalah pacar, sahabat, sekolah, sampai hubungan orangtua mereka yang jauh dari harmonis. Dan meski Cesa termasuk cewek populer karena cantik, pintar, dan baik hati, namun sebenarnya hidup Cesa terpusat pada kakaknya, Jinan, yang mengidap bipolar disorder (gangguan mental yang ditandai dengan perubahan mood sangat ekstrem). Suasana hati Cesa selalu ikut terpengaruh mood kakaknya yang tak dapat ditebak.

Ketika saya tanya apakah karakter Jinan menggambarkan dirinya sendiri, yang kata orang ‘meledak-ledak’, begini jawaban Swistien:
“Betuuulll. Pernah ada yang bilang kalo novel pertama itu pastilah novel curhat si penulis, hahaha. Itu beneran novel curhat. Jadi ya aku banget. Dan Cesa itu adikku. Jadi pernah ada yang komen kalo aku jahat kok bikin tokoh Cesa jadi nyebelin gitu. Lah emang ada orangnya kok. Adikku aja ketawa-ketawa bacanya. Dia gak protes,  emang dia banget kok.”

Kalau masih ingat, beberapa waktu lalu film The Silver Lining Playbook sukses menyedot perhatian baik secara komersil maupun di ajang penghargaan. Film yang diangkat dari novel itu juga menampilkan tokoh yang mengidap gangguan bipolar. Swistien mengakui bahwa dia memang terinspirasi film tersebut, dan memberi ‘peran’ cukup besar untuk film itu dalam novelnya.

Lalu mengapa memilih bercerita dari sudut pandang Cesa, bukan sudut pandang Jinan yang mungkin lebih ‘ruwet’?
“Karena meniru novel Luna-nya Julie Ann Peters. Aku tergila-gila sama novel itu jadinya pengen niru aja. Nulis dengan teknik yang sama. (1) Nulis tentang kakaknya dari pov adeknya. (2) Nulis pakai flashback.”

Pada satu titik, kakak-adik yang berbeda 180 derajat ini tak dapat menghindari kenyataan bahwa mereka menyukai cowok yang sama. Dan hubungan mereka yang selama ini sangat erat, meskipun penuh gejolak, kembali diuji. Berbagai peristiwa di masa lalu yang muncul ke permukaan setelah sekian lama berusaha disingkirkan, membuat Cesa terpaksa mempertanyakan apakah benar dia yang selalu berkorban dan mengalah pada Jinan.

Secara keseluruhan, saya suka cara Swistien bercerita. Tema yang diangkat juga menarik, tentang hubungan kakak-adik yang  penuh tantangan dan tak selalu semanis madu. Memang hidup ini tidak hitam-putih, sebesar apa pun kasih sayang kita pada seseorang, tetap akan ada ego yang bermain. Sempat agak bosan karena kegiatan sosial Cesa kok cuma nonton dan nonton melulu. Tapi mungkin pilihan acara kencan di Jakarta yang paling gampang memang nonton di bioskop kali yaa 😀

Jadi, Diary Princesa adalah novel yang manis namun tetap realistis. Ending-nya mungkin bakal membuat beberapa pembaca nggak rela (termasuk saya). Tapi rupanya itu salah satu syarat lomba di mana naskah novel ini diikutsertakan, jadi ya mesti diterima hehehe.

Oiya, satu hal yang agak mengganggu bagi saya (radar editornya nggak bisa dimatiin :P) adalah penulisan ‘masuk ke dalam kamar/ruangan/dsb’. Seharusnya cukup ‘masuk ke’ saja. Yang lain-lainnya sih nggak terlalu mengganggu.

Good job, Tien. Ditunggu novel selanjutnya.

3 bintang

100 Buku Untuk Seumur Hidup

IMG-20140329-WA0003Saya tidak tahu apakah akan melanjutkan membaca buku ini. Sekarang sih masih mandek. Tapi sebenarnya saya sangat suka temanya. Buku ini bisa dibilang semacam jurnal Will Schwabbe mengenai hari-hari terakhir ibunya, Mary Anne, yang menderita kanker pankreas. Jauh sebelum Mary Anne sakit, ibu-anak ini sudah sering berbagi tentang buku-buku yang mereka baca, karena keduanya pembaca kelas berat. Namun sejak ibunya sakit, kegiatan ini menjadi semakin intens karena…yah…buku apa pun yang sedang mereka baca bersama saat itu bisa jadi merupakan buku terakhir yang akan dibaca ibunya. Maka muncullah ide Will untuk ‘membentuk’ klub buku yang hanya beranggotakan dua orang. Sambil menemani ibunya kemoterapi, atau sekadar saling bertelepon di tengah kesibukan masing-masing (ibunya aktivis sosial dengan jadwal yang luar biasa padat), mereka bertukar kesan dan pendapat tentang sebuah buku. Dan membahas buku ternyata membuka jalan bagi mereka untuk membicarakan kehidupan, orang-orang yang mereka sayangi, masa lalu dan masa kini, yang mungkin tidak akan pernah mereka bicarakan andai tidak ada klub buku.

No matter where Mom and I were on our individual journeys, we could still share books, and while reading those books, we wouldn’t be the sick person and the well person; we would simply be a mother and a son entering new worlds together. (hal. 32) Continue reading

The Virtue of Writers

What I admire from the writers, aside from the magic they bring into their work, is their capacity to capture the secrets of life, the emotion and feeling that may enclose us everyday but we fail to care. Every time I read something quote-worthy in a book, I always wonder How do they know? Have they experience it all? How can they rephrase an emotion or feeling in such a way that makes us believe that that exactly how we felt or would feel in the same situations?  It seems impossible that a single person could portray a wide range of human emotion: sadness, jealousy, happiness, hatred, pride, inferiority, greed, desire, sincerity, and so on and so forth…with words that make so much sense we believe everything they say.

For example, a while ago I read The Husband’s Secret, a novel by Liane Moriarty, and came across these statements: Continue reading

The Lunch Gossip dan The Lunch Reunion: Tentang Sahabat dan Kehidupan

photo0402Dua novel ini saya tuntaskan dalam waktu satu setengah hari saja. Memang bukan bacaan yang berat, jadi tidak sulit menyelesaikannya dalam sekali duduk. Ceritanya sendiri sangat sederhana, mengenai persahabatan lima perempuan yang dipertemukan karena bekerja di kantor yang sama. Lima perempuan dengan karakter berbeda-beda, dan dengan masalahnya masing-masing.

Mengapa saya jatuh hati pada tulisan Tria Barmawi tentang kehidupan Arimbi, Xylana, Kyntia, Vinka dan Keisha? Karena tuturannya yang sederhana dan realistis. Beberapa kali saya mencoba membaca novel bergenre metropop seperti ini, tapi malah jadi terintimidasi oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Yang sosoknya sempurna, gaya hidupnya selangit, yang gaya bicaranya bikin saya mengerutkan kening, dan ujung-ujungnya bikin saya kehilangan selera. Continue reading

Berburu (Just After) Sunset

Setiap kali buku yang saya terjemahkan terbit dan bukti terbitnya lebih dari dua, biasanya saya usahakan membuat kuis untuk teman-teman pembaca. Seperti syukuran lah. Kali ini, buku yang saya kuiskan adalah Just After Sunset, kumpulan cerpen karya Stephen King. Meskipun bagi Stephen King senja adalah waktu ketika segala keanehan terjadi, tapi saya sengaja membuat kuis tentang keindahan senja. Sekalian cuci mata menikmati foto-foto senja yang cantik, hasil perburuan teman-teman peserta kuis 🙂 Sumpah, susah banget milih pemenangnya! Semua foto yang dipajang bagus-baguuus. Supaya lebih objektif, saya minta bantuan beberapa teman yang hobi motret dan hobi berburu senja untuk memilih dua foto favorit. Tapi jumlah suaranya juga beda-beda tipis. Continue reading

Harga Buku Terjemahan Mahal? (Menyambung Tulisan Lulu)

577317_10202043530077978_841476683_n

Silakan baca tulisan Lulu di sini. Lulu pernah bekerja sebagai editor in house, jadi sedikit banyak punya pengalaman dalam menentukan harga buku terjemahan.

Karena penasaran betul mengenai harga buku terjemahan yang semakin lama semakin mahal, saya akhirnya ‘mewawancarai’ Mbak Hetih Rusli, editor fiksi di Gramedia Pustaka Utama. Berikut jawaban dari Mbak Hetih:

Komponen standar (ongkos produksi buku) terdiri atas biaya cetak, biaya gudang, biaya promosi, biaya distribusi, dll. Untuk buku terjemahan selain biaya penerjemahan, ada biaya pembelian rights dan royalti juga. Sama sebenarnya dengan buku lokal, yang memberi royalti ke pengarang. Continue reading

Coloured Lights

13552245Judul : Coloured Lights (Lampu Warna-Warni)

Penulis : Leila Aboulela

Penerjemah : Rahmani Astuti

Penyunting : Widi Lugina

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : I, Maret 2012

Ciri khas tulisan Leila Aboulela adalah kehalusannya, meski topik yang diangkat termasuk berat, perbenturan budaya. Mungkin sama seperti cara Divakaruni bercerita tentang perbenturan budaya imigran India di Amerika. Cerita-cerita dalam buku ini mengisahkan perjuangan para imigran muslim dari Sudan di Inggris, juga orang-orang Inggris yang mengalami persentuhan dengan Islam dan berhubungan dengan para imigran tersebut.

Pergulatan batin para imigran ini tergambar dengan begitu jelas melalui dialog-dialog dalam hati yang dilakukan para tokohnya. Ada rasa minder dan tak berharga di hadapan orang-orang kulit putih  (Kalau kau menutup rambutmu di London, mereka akan mengira aku yang memaksamu melakukan itu. Mereka tak akan percaya kaulah yang menginginkannya), rasa sedih karena terpaksa menjadi bagian dari kelompok intelektual Sudan yang meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Namun ada juga rasa bangga dan keangkuhan karena menganggap diri mereka lebih mulia dibandingkan orang-orang kulit putih yang dingin, tak berbudaya dan tak beragama. Continue reading

Bukan Sekadar Membaca

Koleksi buku klasik Melisa

Koleksi buku klasik Melisa

Sebagai pembaca, kita tentu memiliki genre favorit yang menjadi faktor penentu saat memilih buku. Sesekali kita juga membahas buku-buku tersebut dengan pembaca lain, lalu lanjut membaca buku berikutnya. Namun para pembaca ini  bukan sekadar membaca dan mengulas buku di akun pribadi. Mereka sengaja membuat akun khusus untuk mengekspresikan, bahkan kalau bisa menularkan kecintaan mereka terhadap genre favorit mereka. Yuliyono atau akrab disapa Ijul membuat akun twitter @fiksimetropop, akun facebook Pembaca Novel Metropop dan blog Metropop Lover. Sementara Melisa Mariani dan Fanda, membuat akun twitter @bacaklasik, akun facebook Baca Klasik dan blog Baca Klasik. Dari nama akunnya sudah ketahuan dong, apa genre favorit mereka? Continue reading