The Virtue of Writers

What I admire from the writers, aside from the magic they bring into their work, is their capacity to capture the secrets of life, the emotion and feeling that may enclose us everyday but we fail to care. Every time I read something quote-worthy in a book, I always wonder How do they know? Have they experience it all? How can they rephrase an emotion or feeling in such a way that makes us believe that that exactly how we felt or would feel in the same situations?  It seems impossible that a single person could portray a wide range of human emotion: sadness, jealousy, happiness, hatred, pride, inferiority, greed, desire, sincerity, and so on and so forth…with words that make so much sense we believe everything they say.

For example, a while ago I read The Husband’s Secret, a novel by Liane Moriarty, and came across these statements: Continue reading

Passion dan Pa$$ion

Catch a Falling Star by Vixetra at www.deviantart.com

Catch a Falling Star by Vixetra at http://www.deviantart.com

Awalnya, saya hanya tergelitik membaca tulisan seseorang tentang fenomena makin banyaknya orang Indonesia yang bermimpi (sekolah) ke luar negeri gara-gara membaca Laskar Pelangi. Menurutnya itu mimpi yang naif karena orang-orang tersebut tidak tahu bahwa bisa ke luar negeri tidak menjamin hidup senang. Bahkan banyak yang memberondongnya dengan permintaan bantuan agar mereka bisa mendapatkan beasiswa seperti dirinya. Yang membuat saya tergelitik adalah: apa salahnya punya mimpi? Seabsurd apa pun mimpi kita, kalau memang niatnya kuat dan dikejar dengan sungguh-sungguh, bukan tak mungkin bisa tercapai. Kalau memang merasa terganggu dengan pertanyaan atau permintaan bantuan dari orang-orang itu, ya bilang saja tidak bisa membantu. Tapi saya memang tidak mengalaminya sendiri, jadi tidak adil kalau saya ‘menghakimi’ si penulis. Anggap saja ini perbedaan pandangan. Continue reading

It Takes A Village to Raise A Child?

ilustrasi

Beberapa waktu lalu, saya sedang berdiri di area foodcourt sebuah mal, berpikir-pikir mau pilih menu apa untuk makan siang hari itu. Mendadak, ada suara siulan (benar, siulan) dari belakang saya, yang saya tangkap maksudnya meminta saya minggir karena menghalangi jalan. Saya langsung menoleh, kepingin tahu kayak apa tampang orang nggak sopan itu, dan kaget waktu melihat ternyata yang menyiuli saya barusan adalah seorang anak berusia kira-kira sepuluh tahun. Dia melenggang dengan cuek melewati saya, sementara temannya terkekeh-kekeh melihat saya yang melotot. Apa anak itu tidak pernah diajari untuk meminta dengan sopan, “Permisi Bu” dan bukannya menyiuli orang yang jauh lebih tua darinya? Dengan dongkol, saya berkata dalam hati, “Kalau saya punya anak, nggak bakal deh anak saya jadi kurang ajar kayak begitu!”  Continue reading