
Catch a Falling Star by Vixetra at http://www.deviantart.com
Awalnya, saya hanya tergelitik membaca tulisan seseorang tentang fenomena makin banyaknya orang Indonesia yang bermimpi (sekolah) ke luar negeri gara-gara membaca Laskar Pelangi. Menurutnya itu mimpi yang naif karena orang-orang tersebut tidak tahu bahwa bisa ke luar negeri tidak menjamin hidup senang. Bahkan banyak yang memberondongnya dengan permintaan bantuan agar mereka bisa mendapatkan beasiswa seperti dirinya. Yang membuat saya tergelitik adalah: apa salahnya punya mimpi? Seabsurd apa pun mimpi kita, kalau memang niatnya kuat dan dikejar dengan sungguh-sungguh, bukan tak mungkin bisa tercapai. Kalau memang merasa terganggu dengan pertanyaan atau permintaan bantuan dari orang-orang itu, ya bilang saja tidak bisa membantu. Tapi saya memang tidak mengalaminya sendiri, jadi tidak adil kalau saya ‘menghakimi’ si penulis. Anggap saja ini perbedaan pandangan.
Lalu saya menulis status di facebook pada tanggal 23 November 2013, berkaitan dengan mimpi juga, meskipun tentu tidak dapat dibandingkan dengan mimpi besar seperti bersekolah dan tinggal di luar negeri. Tapi sekadar mengungkapkan unek-unek saya sendiri 🙂
Teman saya Lulu mengusulkan agar status tersebut beserta komentar-komentarnya dimuat di blog, supaya tidak hilang begitu saja. Jadi, sebagai penyemangat di awal tahun, saya pindahkan postingan itu kemari. Semoga dapat meningkatkan passion sekaligus pa$$ion di tahun yang baru.
Sesekali, ada yang bertanya ke saya, “Pingin deh jadi penerjemah buku. Gimana caranya sih Mbak? Kan enak bisa dapat buku gratis terus.” Naif banget! Tujuannya kok absurd! Begitu mungkin pikiran pertama saya. Kalau lagi rajin, saya jawab dengan memberinya tautan-tautan ke blog teman-teman yang sudah panjang lebar menuliskan cara dan suka-duka menjadi penerjemah (tetep nggak mau repot njelasin sendiri :P). Kalau lagi males, saya cuekin saja. Toh seandainya dia cuma iseng, bakalan lupa sendiri. Tapi saya nggak pernah bilang, “Ngapain lu mau jadi penerjemah buku? Dikira enak apa? Dikira bisa kaya dari nerjemahin buku? Kalau buku gratis doang mah, minta aja sama orangtua lu.” Saya nggak jawab begitu karena biarkan saja dia punya mimpi. Toh kalau dia sudah coba dan ternyata nyesel, itu risiko hidup. Mana ada orang yang hidupnya mulus-mulus saja (Oke, ini bisa diperdebatkan :D).
Tapi saya juga bukan malaikat. Kalau ada yang sudah dijawab panjang lebar, lalu komentarnya, “Hah? Bayarannya cuma segitu? Gila aja! Nggak worth it lah sama waktu gue!” padahal nyoba aja belum, padahal kualitas terjemahannya kayak apa juga belum tahu, padahal bukan saya yang minta-minta dia jadi penerjemah, ya rasanya pingin pites-pites juga hehehe
“Jujur, saya kalau punya mimpi / passion, gak peduli uang, hehe. Backpack kan ngabisin uang, kami jabanin itu, sisanya disiasatin, gimana caranya backpacknya bisa sambil cari uang, jualan pempek dong! 🙂 Kami mimpinya banyak, Mbak Jadi satu-persatu diwujudkan, fokus saja, insyaAllah tercapai kok.” Imazahra Fatimah (penulis, traveler)
“Seriing gue nemuin yang kayak gini Ci. Belum apa2 bialng ‘Hah ? cuma 7 juta per bulan? Rugi saya.’ Gue iseng tanya ‘Memangnya sekarang kamu udah punya 7 juta per bulan?’ — ‘Nggak.'” Ilnayuti Sari (pebisnis sukses)
“Haduh saya nerjemahin buku tahun 1930-an sampe jungkir balik nerjemahin bahasanya yang satu kalimat ada 10 koma, tidur cuma 3-4 jam sehari. Benar-benar perjuangan. Tapi kalo sudah senang nerjemahin, ya mau gimana lagi? susah nolak orderannya #eh” Dion Yulianto (penulis, penerjemah)
“Kalo nggak liat ribetnya, taunya ‘glamor’nya doang. Pernah ada yang tanya berapa honor buku tertentu ke gue, Ci. Gue jawab sekian belas jeti. Langsung aja dia punya gagasan cemerlang untuk berenti kerja kantoran (capek dan ngongkos, katanya) dan berniat jadi penerjemah di rumah aja. Beuh, dia kagak tau gue ngerjain buku itu 6 bulan. Sementara dia yang benar-benar tergantung gaji bulanan buat biaya sehari-hari. Begitu gue kasih saran jadi freelancer aja dan jangan lepas pekerjaan kantorannya, dia ngambek, merasa dilecehkan. Akhirnya dia kirim lamaran dan contoh terjemahan ke salah satu penerbit, gak diterima, kemudian nyerah.
Jadi penerjemah itu profesi yang harus pake ‘cintah’, gak bisa cuma berorientasi sama honor. Apalagi buat penerjemah fiksi. Kalo mau ngitung, biaya internet, listrik, meres otak, beli kamus, dll itu berapa? Sekali dapet honor bisa aja gede, tapi waktu ngerjainnya berapa lama? Gak bisa diitung pake duit. Dan gak ada jaminan kita bakal selalu dapet job segera setelah satu buku selesai. Plus, curhatan emak-emak, kalo dikejar deadline yang ada makan delivery, gak sempet masak, biaya bengkak, hahaha! Mau diitung tuh?” Poppy D. Chusfani (penerjemah, penulis, editor)
“Kalau mau jadi ‘kaya’ dengan menerjemahkan, jangan jadi penerjemah buku. Kecuali kalau kaya secara batin, yaaa :)” Primadonna Angela (penulis, penerjemah, editor)
“Yang pantas ngomong ‘Hah, cuman segitu???’ minimal tuh yang sudah profesional dan berpengalaman. Sedangkan yang sudah pro dan jam terbang tinggi malah seringnya rendah hati dan ga meremehkan atau memuja profesi cuman dari honornya.” Alfawzia Nurrahmi (penerjemah)
“Penerjemahan buku itu ‘indah’. Ilmunya banyak, tantangannya besar, kebanggaannya luar biasa. Saya terus terang kecewa sama diri sendiri karena gak bisa lagi nerjemahin buku – karena gak mampu lagi bertahan di konteks jelimet, karena keseringan alih dokumen Saya juga mulai dari terjemahan buku – akhirnya, pengalaman yang cuma segelintir dalam menerjemahkan buku (fiksi) jadi bekal lumayan besar ketika harus ‘menjegal’ proyek-proyek yang butuh konteks seluas samudra dan menerjemahkan logika yang gak masuk di akal. Penerjemahan game dan website, itu asalnya dari buku. Konsistensi dan cara berpikir kontekstual yang panjang lebar tinggi rendah itu asalnya dari buku! Saya sangat menghimbau semua penerjemah untuk mulai menerjemahkan buku dulu, BUKAN DOKUMEN. Mau orang bilang bayarannya rendah, IMO pengalaman yang diperoleh dari penerjemahan buku tidak bisa dibeli dengan uang berapa pun – dan tidak akan terliput melalui training dan kursus sebanyak apa pun. Penerjemahan buku gampang? Huh, siapa bilang justru ini salah satu penerjemahan yang tersulit!” Maria Renata (penerjemah, fashion designer)
“Saya pribadi sangat respect dan kagum pada penerjemah buku. Menurut saya itu keren sekali. Selain saya merasa belum mampu (dan belum pernah nyoba), tapi saya tahu menerjemahkan buku itu pekerjaan serius yang butuh kecerdasan dan kepekaan khusus. Saya beberapa kali membaca buku yang sama tapi diterjemahkan oleh orang yang berbeda, cita rasanya bisa sangat berbeda. Proud of you mbak Uci. Keep up your work and keep sharing...
Sekadar berbagi, saya biasa menjadi translator lisan, misalnya ada tamu asing yang berkunjung ke project yang saya kerjakan di daerah-daerah, saya otomatis jadi guide sekaligus translator. dari situ saya belajar bahwa pekerjaan menerjemahkan itu tidak semata-mata mengubah kalimat bahasa indonesia ke inggris atau sebaliknya, tapi juga pengolahan rasa, pemahaman konteks, speaking skill dll. Jadi itu sama sekali bukan pekerjaan mudah. Nah, menerjemahkan buku pastinya jauh lebih sulit karena hasilnya terdokumentasi, lebih everlasting, sekali melakukan kesalahan sulit dihapusnya. Berbeda dg penerjemahan lisan yang gampang dilupakan.” Ade Siti Barokah (penulis, partnership for governance reforms)
Because working is loving what you’re doing….
Ahahaha makasih karena sudah disebut, mbak 🙂
Sama-samaa….daku penggemar tulisanmu 😉
Whoa, ada aku, jadi maluuuuu 🙂
Ayo ayo, hidupi terus mimpi2 kita 🙂
Amiiin 🙂
Entah mengapa kalau saya punya mimpi dan saya jalani kok ya pasti berhasil. Dulu pernah mimpi jadi guru, ya ndilalah kesampaian. Mimpi jadi penulis, kesampaian juga. Mimpi jadi penerjemah juga kesampaian. Tapi itu karena saya menjalaninya alias melakukan sesuatu untuk mencapainya, sekonyol apa pun itu pada awalnya. Awal saya menerjemahkan (waktu masih mahasiswa), saya cuma dibayar rp 2500 per lembar. Edan. Tapi saya lakoni.
Nah mimpi lain yang nggak jalani ya nggak tercapai, contohnya mimpi bisa main piano dan bisa renang. Lah, nggak saya ‘kejar’ sih.
Naah, bener kan mimpi itu nggak dosa. Tinggal kitanya aja, mau dikejar atau nggak.
“beli kit kristik mahal-mahal masih kudu susah-susah ngejait-nya, kurang kerjaan amat sih lo…”
“kristik yang ude jadi kok mahal banget sih ? tibang begitu doang aja kok…”
mingkem aja deh eike….
mungkin gak sama banget kasusnya, tapi ya memang begitulah yang namanya passion…. 😀
Bener Mbak…trus kenapa itu yang udah jadi nggak ada yang dikirim ke Sawangan? #eh 😀
Makasih, Ci, akhirnya komentar-komentar itu “diblogkan” di sini. $uk$es selalu buat semua penerjemah di tahun baru ini 😀
Amiiin. Thanks ya Lu udah kasih ide postingan pertama di tahun baru hehehe
Asyik, bisa nambah-nambah link buat FAQ di blogku:) Makasih ya Ci sebelumnya.
Sama-sama Riiin ^_^
Mimpi aku jadi ibu rumah tangga atau bekerja di rumah musti dikompromikan dengan bekerja di kantor tapi dengan pekerjaan yang aku impikan. Gaji yang didapat memang kurang lebih seperempat dari gaji terakhir yang aku dapat sebagai planner..
Tapi aku jadi punya waktu yang lebih luang, pikiran yang lebih luang, dan bisa mengalokasikannya buat aspek kehidupan yang lain..
Somethings are worth even more than money, indeed 🙂
kl beneran passion, biasanya uang itu nomor sekian 🙂
Amiin 🙂