“Creativity is Great, Dear”

Aku mengintip dari balik layar di panggung Minack Theater. Deretan bangku untuk kapasitas 750 penonton hampir seluruhnya terisi. Jantungku berdegup kencang seolah hendak melompat keluar dari dada. Kulayangkan pandangan ke para pemain yang sedang bersiap-siap mementaskan lakon Karno Tanding, salah satu episode paling dramatis dalam kisah Perang Bharatayudha. Sampai detik ini aku masih saja tersenyum lebar setiap kali melihat sosok-sosok berkulit putih dengan rambut pirang, cokelat, atau merah itu mengenakan kostum wayang nan anggun. Mereka begitu antusias memerankan tokoh Arjuna, Kurawa, Abimanyu, Bhisma, dan lain-lain. Bahkan mereka ingin sekali mementaskannya dalam bahasa Jawa. Tapi menurutku sebaiknya menggunakan bahasa Inggris dulu. Pelan-pelan. Bagaimanapun, teater terbuka yang dibangun di tebing Porthcurno, Cornwall ini belum pernah menampilkan cerita dari Indonesia, bahkan Asia. Kembali kukirimkan ungkapan kekaguman tanpa suara untuk Rowena Cade, perempuan dengan tekad baja yang merencanakan dan membangun sendiri teater spektakuler ini. Lalu pandanganku beralih ke charm bracelet yang tak pernah absen melingkari pergelangan tangan kananku. Gelang pemberian lelaki istimewa yang selalu menyemangatiku dengan kata-kata, “Creativity is great, dear.”

Minack Theater, Cornwall

Minack Theater, Cornwall

***

Hamparan bunga krokus di Kew Gardens, London, bagaikan bentangan karpet ungu yang tebal dan empuk. Andai tidak ada pengunjung lain, mungkin aku sudah melemparkan tubuh dan berguling-guling di sana. Karena masih punya urat malu, aku hanya berjongkok dan memeluk bunga-bunga yang mekar sembari menghirup wanginya dalam-dalam. Setelah beberapa detik dalam posisi itu, aku merasakan sepasang mata memperhatikanku. Dengan enggan aku menengadah dan melihat seorang lelaki menatapku dengan mata yang menyorotkan ekspresi geli. Aku merengut. Huh, mengganggu saja orang ini. Dengan kesal aku memelototinya. Dia mengangkat tangan tanda menyerah sambil tertawa renyah. “Maaf, maaf, tidak bermaksud mengganggu. Tapi jujur saja, sejak dulu aku ingin sekali bergulingan di karpet krokus ini, kalau tidak khawatir ditegur petugas.” Mau tak mau aku membalas tawanya dengan senyuman setengah hati. Dia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Adrian. Sebagai tanda perdamaian, dia mengajakku mencicipi carrot cake dan lemon drizzle cake di kafe Victoria Plaza yang menurutnya luar biasa enak. Aku sempat ragu karena aku tak kenal lelaki ini, meskipun dia lumayan… ehem… ganteng. Tapi sikap santai dan binar ramah matanya membuatku akhirnya mengikuti langkah-langkah lebarnya menuju kafe yang terletak di dekat gerbang Kew Gardens itu.

Treetop Walkway, Kew Gardens, London

Treetop Walkway, Kew Gardens, London

Setelah menikmati kue-kue yang memang sedap itu, kami kembali menyusuri taman luas yang semarak dengan warna-warni musim semi. Saat menapaki treetop walkway, kami sudah berbagi begitu banyak cerita rasanya seakan-akan kami sudah lama saling kenal. Adrian yang baru memulai karir sebagai penulis perjalanan untuk beberapa majalah, mengungkapkan kecintaannya pada alam dan impiannya menyambangi hutan-hutan di Indonesia. Aku yang sedang belajar di London Academy of Music and Dramatic Arts dengan malu-malu mengutarakan hasratku untuk mementaskan lakon wayang di salah satu panggung teater di Inggris. Kami berbagi kisah, berdebat, tertawa, sampai tanpa sadar jam demi jam telah berlalu sejak pertemuan awal kami. Petang itu kami berpisah dengan janji untuk bertemu lagi di lain waktu.

Minggu berganti bulan. Pertemanan kami semakin akrab dan Adrian menjadi ensiklopedia berjalanku di Inggris, membuat masa tinggalku di sana tak lagi terasa sunyi. Dan pada hari ulang tahunku, Adrian memberi kejutan dengan mengajakku ke Minack Theater di Cornwall. Aku nyaris tak bisa bersuara saat pertama kali menatap pemandangan menakjubkan itu. Kuremas tangannya sambil berbisik, “Aku ingin sekali suatu hari nanti drama karanganku bisa dipentaskan di sini.”

Adrian balas meremas tanganku dan berkata, “Tidak ada yang tidak mungkin.”

Aku menggeleng-geleng. “Itu impian yang terlalu muluk. Mana mungkin mereka menyukai kisah yang belum pernah mereka dengar?”

“Cerita wayang yang epik dan dramatis, diperankan aktor dan artis Inggris, perpaduan sempurna Barat dan Timur? Creativity is great, dear. They’ll love it. And I have loved it already.

Thanks, Ade,” ucapku penuh terima kasih.

Adrian tidak main-main. Melalui teman dari teman dari temannya yang mengenal sejumlah orang penting di teater tersebut, aku mulai merintis jalan untuk menampilkan drama karanganku di sana. Tepatnya, drama yang kutulis ulang dari lakon yang sudah amat terkenal. Aku berhasil mendapatkan waktu untuk mempresentasikan ideku di hadapan dewan pengelola teater, berusaha keras meyakinkan mereka bahwa lakon yang kupilih memiliki pesan-pesan universal yang dapat diterima semua orang dari seluruh belahan dunia.

Minggu demi minggu berlalu. Tak ada kabar apa pun dari Minack Theater. Aku mulai pasrah walaupun sesungguhnya amat kecewa. Apalagi pada saat yang sama, Adrian memperoleh kesempatan yang telah lama dinantikannya. Menuliskan perjalanan menyusuri hutan Amazon. “Bukan hutan Kalimantan, tapi ini permulaan,” katanya antusias. Aku ikut senang dan amat bangga padanya. Sungguh. Tapi mau tak mau kembali terbayang hari-hari sunyi yang menantiku di depan sana.

Sebagai perjalanan perpisahan, Adrian mengajakku ke Durdle Door di Dorset yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari London. Seraya menunjuk karang berlubang yang menyerupai pintu itu, dia berkata, “Aku senang membayangkan pintu itu bisa membawaku ke mana saja dalam sekejap. Kau tinggal mendayung perahu melewatinya dan langsung bergabung denganku di Amazon.” Aku tertawa dan memeluknya. Adrian memasangkan charm bracelet di tanganku. “Ingat aku selalu,” bisiknya. Pasti, kau tak perlu minta, kataku dalam hati.

Durdle Door, Dorset

Durdle Door, Dorset

Tiga minggu kemudian, pada hari yang sama, datang dua surel yang sama-sama mengguncang duniaku. Dewan pengelola Minack Theatre menyetujui ideku dan memintaku segera memulai persiapan pementasan Karno Tanding. Surel kedua berasal dari keluarga Adrian yang menyampaikan berita duka bahwa putra, adik, dan cucu mereka, Adrian Treadwell, terjangkit malaria di Amazon dan sayangnya tidak segera mendapatkan penanganan yang memadai sehingga…

Aku tak sanggup membaca lagi. Aku tak tahu harus terisak atau tertawa. Aku tak yakin harus bersyukur atau mengutuk. Aku menyalahkan dunia. Aku menyalahkan diriku. Aku menyalahkan Tuhan.

Aku menangis.

Dan menangis.

Dan menangis.

Hari demi hari.

Sampai suatu hari, saat terlelap dalam tidur yang gelisah, aku mendengar bandul-bandul di gelangku berdenting. Mungkin karena gerakan tanganku, mungkin karena tertiup angin, atau mungkin itu cara Adrian menegurku dan memaksaku bangkit kembali.

***

Kuusap air mata yang menitik di sudut mata. Kulayangkan pandangan ke deretan bangku yang kini sudah terisi penuh. Kuguncangkan charm bracelet di tangan hingga terdengar dentingnya yang menenangkan. Dan aku seolah mendengar suara lembut Adrian berbisik di telingaku, “Break a leg, dear.

I will, Ade. Thank you.

Lampu-lampu dipadamkan. Mungkin di Dorset sana, Adrian sedang mendayung perahu melewati Durdle Door untuk menyaksikan pementasan karya pertamaku.

Tokoh favorit di Game of Thrones: Daenerys Targaryen
Dia contoh sempurna orang yang tak kenal kata menyerah. Meskipun awalnya terkesan lemah, naif, dan tak punya kekuatan apa pun, namun tempaan hidup yang berat malah membuatnya semakin tegar dan kuat. Bahkan dia berhasil menghimpun ribuan prajurit dari nol. Ditambah lagi, dia satu-satunya penguasa naga yang masih hidup. Tak ada yang bisa mengalahkan perempuan perkasa ini kecuali kematian itu sendiri.

Diikutsertakan dalam kompetisi “Creativity is Great” dari Fantasious dan British Embassy Jakarta.
11062328_408576239316292_6780605576101539947_n

24 comments on ““Creativity is Great, Dear”

  1. dhee says:

    Mamiiiih, tulis novel, Miiih… Tuliiiiis…. Ahahaha

  2. bruziati says:

    Aw aw aw. Makasih Didieeet

  3. Dina Begum says:

    Aaaaaaw! Uci, cerpennya sekeren terjemahannya.

    Ikut… ikut ke Ingris! #kokosedan

  4. mute says:

    ih masa gw berkaca2 bacanya… ih pms nih pasti pms #nyarialasan

  5. ESF says:

    Heloooooow

  6. Linda B says:

    *plok plok plok* cuma romensnya kurang panjang aja #kabur Semangkaaa…semoga dapat hadiah pertamaa 😀

  7. lulu says:

    Risetnya oke, ci. Good luck yaa 😉

  8. Ayu Yudha says:

    bagus, mamiiiih. semoga menang dan bisa jalan-jalan.. 🙂

  9. Iyut says:

    Keren ih..keren.. Dan aku juga berkaca-kaca bacanya.. Pasti ketularan PMS-nya Mute ni 😆

  10. janno mahardika says:

    Membaca kisahnya membuat nalar.. err fantasi jadi “liar” berasa ada di lokasi, apalagi diliatin situs2 kerennya.. top!!!

  11. melita says:

    Cerpennya baguuuus 🙂

  12. rere says:

    Mbak Uciiii, aku sampai mau mewek ih. Setuju juga sama komen MbakLu, keren! Terus, ini sih penasaran aja, Adrian wujudnya kayak apaaa? 😀

  13. farah says:

    Keren ci, makes me wanna go to the setting.. ikuuut…hehehe.
    Bravo, sukses ya.

  14. Salam kenal. Kadang-kadang saya mah suka berpikir naif, Bu, menganggap semua hal yang berbau barat itu pasti keren, sedangkan seni Indonesia itu kampungan, nggak ada apa-apanya. Postingan di atas ngejewer telingaku 😀 memang udah ga zaman lagi merendahkan diri. Batik aja sekarang udah populer di luar negeri ya.

Leave a comment