Judul : Coloured Lights (Lampu Warna-Warni)
Penulis : Leila Aboulela
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting : Widi Lugina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2012
Ciri khas tulisan Leila Aboulela adalah kehalusannya, meski topik yang diangkat termasuk berat, perbenturan budaya. Mungkin sama seperti cara Divakaruni bercerita tentang perbenturan budaya imigran India di Amerika. Cerita-cerita dalam buku ini mengisahkan perjuangan para imigran muslim dari Sudan di Inggris, juga orang-orang Inggris yang mengalami persentuhan dengan Islam dan berhubungan dengan para imigran tersebut.
Pergulatan batin para imigran ini tergambar dengan begitu jelas melalui dialog-dialog dalam hati yang dilakukan para tokohnya. Ada rasa minder dan tak berharga di hadapan orang-orang kulit putih (Kalau kau menutup rambutmu di London, mereka akan mengira aku yang memaksamu melakukan itu. Mereka tak akan percaya kaulah yang menginginkannya), rasa sedih karena terpaksa menjadi bagian dari kelompok intelektual Sudan yang meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Namun ada juga rasa bangga dan keangkuhan karena menganggap diri mereka lebih mulia dibandingkan orang-orang kulit putih yang dingin, tak berbudaya dan tak beragama.
Sisi menarik yang diungkapkan Leila dalam kisah-kisahnya adalah betapa orang Islam sering kali melupakan ajaran agama dan jati dirinya ketika berada jauh dari kampung halaman yang begitu mendukung ritual keagamaan mereka. Malah orang-orang asing yang kerap mengingatkan mereka untuk kembali mengingat Islam, seperti dalam cerpen Museum.
Di antara keindahan dan kehalusan kata-kata yang dirangkai Leila, cerita-cerita dalam buku ini membuat saya berpikir, benarkah saya sudah memeluk Islam atas kesadaran sendiri dan bukan sekadar melanjutkan agama orangtua? Bisakah saya bertahan andai saya berada di negeri yang suara adzan pun tak pernah terdengar sepanjang tahun?
Saya teringat percakapan dengan teman saya bertahun-tahun lalu. Dia Islam, tapi tak pernah shalat, puasa, maupun ritual keagamaan lainnya. Percakapan kami sebenarnya hanya dimulai dengan bercanda. Saya bilang, kalau tarawih saya sengaja jalan kaki ke masjid, supaya pahalanya banyak. Karena setiap langkah dihitung sebagai pahala. Teman saya menukas, “Kok kayak anak TK aja, shalat cuma buat ngejar pahala, ngejar nilai!”
Saya terenyak. Ucapan teman saya hanya sepintas lalu, dan mungkin tidak serius, tapi cukup membuat saya malu. Karena dia benar. Seharusnya saya shalat bukan demi mendapatkan imbalan, tapi karena saya butuh ‘bertemu’ Allah. Dan ironisnya, yang mengingatkan saya justru orang yang saya anggap tak kenal agama.
Itu sebabnya saya selalu yakin bahwa kebaikan bisa datang dari mana saja, apa pun wujud dan bentuk luarnya. Saya percaya itu, sampai kapan pun.
Udah punya bukunya, tapi belum baca 🙂
Biasalah ituu, yang penting kan punya dulu, ya nggak? hehehe
sangat menyetujui pendapat dan keyakinan ente gan kalo kebaikan akan datang dari mana aja, mantapp,,