Batik, Seribu Kisah dalam Sehelai Kain

Walaupun pamor batik seolah baru ‘bangkit’ beberapa tahun belakangan ini, namun saya yakin banyak orang menyimpan kenangan tentang batik sejak sangat dini, termasuk saya. Bagaimana tidak, waktu kecil saya digendong ke mana-mana dengan ambin batik atau gendongan jarik istilah akrabnya, ayah saya yang pegawai negeri selalu pakai batik korpri setiap kali ada acara wajib, saat  sekolah pun ada seragam batik yang dipakai sekali seminggu. Pokoknya batik selalu hadir sepanjang perjalanan hidup saya, dalam berbagai bentuknya.

Salah satu kenangan terindah saya dengan almarhumah Ibu juga tidak jauh-jauh dari batik. Kami pernah menghabiskan waktu berdua saja di pasar Beringharjo, sejak para pedagangnya masih beres-beres lapak sampai lewat tengah hari. Belanja seprai, kerudung, blus, sampai daster aneka warna. Tentu semuanya berbahan batik. Menjelang pulang kami baru sadar dompet Ibu hilang dicopet, tapi kami malah nyengir dan bersyukur. Karena untung saja dompet itu dicopet setelah uang di dalamnya habis buat belanja batik 🙂

Soal daster sendiri, saya memang sudah cinta mati sama batik. Tidak ada satu pun baju rumah saya yang bukan daster, dan tidak ada satu pun daster saya yang bukan batik. Mungkin karena terpengaruh Ibu juga, yang di rumah selalu berdaster batik sejauh ingatan saya. Kami bahkan punya daster batik yang motifnya kembar tapi berbeda model.

Sebagian koleksi daster

Meski sangat cinta, tapi saya sempat bosan dengan wujud batik yang begitu-begitu saja alias hanya dipakai sebagai busana atau pelengkap busana seperti selendang. Alhasil kalau menemukan benda-benda bermotif batik yang saya anggap tidak biasa, pasti timbul keinginan untuk mengoleksinya. Saat ini memang saya baru mengumpulkan pembatas buku batik atau tas batik yang relatif terjangkau. Tapi salah satu koleksi yang sudah lama masuk wishlist saya adalah peralatan makan porselen motif batik rancangan alm. Iwan Tirta. Karena kalau beli pun saya belum tahu mau disimpan di mana dan digunakan untuk jamuan istimewa apa 🙂

Courtesy of Kedaung Group

Bicara tentang Iwan Tirta, sang maestro batik yang membuat batik Indonesia mendunia ketika tampil di majalah National Geographic edisi Amerika di akhir 1980-an ini pernah mengatakan bahwa batik hanya bisa berkembang dan dengan demikian bisa dilestarikan jika dikenakan sehari-hari.

Courtesy of batikcity.com

Maka ketika muncul kehebohan tentang batik Indonesia yang dicuri negara tetangga, saya pribadi berpendapat bahwa kita sebaiknya jangan langsung emosi tanpa bertanya dulu kepada diri sendiri, apakah kita sudah menghargai dan mencintai batik sebagai warisan budaya kita? Apakah kita sudah akrab dengan batik dalam keseharian kita? Apakah kita lebih memilih batik daripada baju-baju bermerek asing saat menghadiri acara resmi? Jujur, pengetahuan saya tentang batik bisa dibilang nyaris nol, jadi saya tidak pernah berani meneriaki orang maling sementara saya sendiri tidak paham apa yang dicuri dari saya.

Untuk itu saya kagum kepada orang-orang kreatif yang tidak ragu menggunakan batik dalam karya mereka, atau memberi sentuhan baru pada batik agar selalu up to date. Langkah semacam itulah yang dibutuhkan untuk melestarikan batik Indonesia dan menjaganya sebagai warisan budaya, bukan sekadar memakai batik karena mengikuti tren. Walaupun tidak salah juga, karena artinya kan sudah mengakui bahwa batik layak dijadikan tren.

Meja baja motif batik kawung
karya Alvin Tjitrowirjo
Courtesy of malachiliving.blogspot.com

Dengan menerapkan motif batik dalam desain produk, mereka membantu mempopulerkan batik baik di dalam maupun luar negeri. Apalagi jika karya tersebut bernuansa modern dan mudah diterima oleh berbagai kalangan, bahkan yang tidak akrab dengan batik sekalipun.

Menuangkan kecintaan pada batik dalam bisnis yang ditekuni juga dilakukan oleh teman saya Inka Prawirasasra, salah satu pemilik Nyai Indonesia. Dengan tagline ‘bag with ethnic twist’, Inka menghadirkan beragam model tas cantik yang diberi ornamen kain etnik, terutama batik. Idenya muncul ketika Inka yang gemar mengoleksi kain batik koleksi ibu dan mendiang neneknya suatu saat terpikir untuk memanfaatkan kain-kain tersebut dengan membuat tas yang bergaya modern namun memiliki sentuhan etnik.

Inka mengatakan bahwa desain tasnya yang tidak ‘full batik’ disukai konsumen karena mereka mengaku lebih mudah menyesuaikan tas tersebut dengan baju yang mereka kenakan.   Selain itu, konsumen yang rata-rata perempuan berusia 28-40 tahun juga  senang karena tas batik ternyata bisa tampil modern tanpa khawatir terlihat terlalu etnik.

Savitri clutch
Nyai Indonesia

Tas-tas dengan sentuhan batik ini rupanya juga disukai konsumen yang tinggal di luar negeri, karena modelnya yang unik dan khas Indonesia, sehingga bisa menjadi kebanggaan bagi mereka. Mereka pun tidak segan-segan menjadikan tas batik ini sebagai kado untuk teman-teman berkebangsaan asing yang tentunya tidak terlalu akrab dengan batik.

Maghali collection
Nyai Indonesia

Meskipun menyediakan tas dengan bahan baku kulit asli dan batik tulis yang harganya lumayan mahal buat saya, Inka juga berusaha memanjakan konsumen kelas menengah yang ingin punya tas bagus namun dengan harga terjangkau. Cara mengakalinya adalah dengan memakai batik cap (tetap buatan perajin) dan kulit sintetis kualitas bagus. Usaha yang sangat saya hargai, karena dengan begitu saya jadi bisa membeli salah satu produknya 🙂

Akhirnya, saya bersyukur karena kebetulan mendapat jodoh orang Solo, yang setiap tahun pasti harus pulang kampung. Kalau dulu saya cuma belanja batik di Mayestik atau ITC karena tidak ada kesempatan untuk pergi ke Solo atau Jogja, sekarang saya bisa langsung mblasak-mblusuk di Pasar Klewer yang padat atau mondar-mandir di Malioboro yang selalu romantis walau kerap kali kotor dan berisik. Kalaupun tidak bisa ke Pasar Klewer atau Beringharjo, sentra-sentra batik juga bertebaran di seantero Solo dan Jogja, jadi memudahkan bagi yang ingin berbelanja. Saya juga ingin mampir dengan ‘serius’ di kota-kota batik yang selalu kami lewati dalam perjalanan ke Solo, seperti Pekalongan dan Cirebon. Mudah-mudahan bisa kesampaian.

Saya memang tidak paham serba-serbi batik, filosofi maupun jenis-jenisnya. Saya hanya tahu bahwa keindahan batik tak akan lekang oleh waktu dan bahwa dalam setiap helainya selalu tersimpan seribu kisah. Kisah para perajin yang mengembuskan napas dan harapan mereka di sana, serta kisah para pembeli yang jatuh cinta pada sehelai kain dengan sejarah yang jauh lebih tua dari usia mereka.

Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com

Keterangan:  gambar pertama diambil dari sini

This entry was posted in Life and tagged .

11 comments on “Batik, Seribu Kisah dalam Sehelai Kain

  1. anggrekdewayanie says:

    weweewew *senyummanisngknahan*
    … begitu lihat postingan foto terakhir, teteup yeee narcis.com 🙂

  2. bruziati says:

    Bukan narsis, bukti cinta batik hehehe

  3. echa says:

    Eh..ada lomba blog entry tentang Batik Indonesia? *baru tahu*parah* Hahahaha

  4. bruziati says:

    Cha, waktu pengumuman lombanya baru keluar kan aku mencolek dirimu di facebook. Coba deh liat notif2 sebulan lalu *kurang kerjaan* 😛

  5. Jadi inget mbah saya yang sampai sekarang masih setia jarik-an. Mbah-mbah yang lain yang lebih muda sekarang jarang yang pake jarik.

  6. yanuri says:

    “Komunitas Pengrajin Batik”
    Bagi anda yang membutuhkan berbagai macam mengenai batik silahkan hubungi kami.
    Kami pengrajin batik siap untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan anda.
    trimakasih…
    ..0857 4394 0055..(YANURI)

Leave a reply to Pengumuman Pemenang Lomba Blog Entry Batik Indonesia : kukurakung Cancel reply