Pentingnya Membaca Ulang

Salah satu tahap yang menurut saya sangat penting saat menerjemahkan adalah memeriksa hasil terjemahan atau membaca ulang. Ada yang memilih membaca ulang setiap selesai satu bab atau bahkan sebanyak target yang dicapai hari itu. Saya sendiri lebih suka membaca ulang setelah selesai satu buku. Untuk hasil terjemahan setebal 600-an halaman, saya butuh waktu kira-kira satu minggu untuk membaca ulang. Mungkin terasa membuang waktu, karena kita pasti kepinginnya cepat-cepat ngumpulin kerjaan dan dapat honor. Tapi demi kewarasan dan kebahagiaan editor, tidak ada salahnya meluangkan waktu sedikit lebih lama demi hasil terjemahan yang nyaman.

Mengapa tahap ini penting?  Karena saat membaca ulang, kadang kita baru menyadari hal-hal ‘aneh’ yang sebelumnya luput dari radar. Misalnya kata ‘mengangguk’ yang tidak sengaja kita ketik jadi ‘mengaduk’. Itu baru contoh sederhana. Waktu saya mulai belajar jadi editor, baru terasa betapa gemasnya ketika menemukan naskah terjemahan yang bolong satu paragraf, satu halaman, bahkan satu bab! Memang sudah tugas editor untuk mempercantik naskah, termasuk menambal bolong-bolong yang ditinggalkan penerjemah, tapi kan bikin pingin garuk-garuk tanah juga. Dan hal ini bisa dihindari jika penerjemah mau meluangkan waktu untuk membaca ulang sebelum menyerahkan terjemahan kepada editor.

Jadi, jangan malas untuk membaca ulang hasil terjemahan, termasuk memperbaiki ejaan-ejaan yang tidak sesuai dengan KBBI atau tata bahasa yang agak melenceng. Seperti menuju ke, naik ke atas, masuk ke dalam…kesalahan-kesalahan mendasar yang seharusnya tidak perlu terjadi. Lumayan meringankan tugas editor lho. Sesenior-seniornya penerjemah, yang namanya belajar atau meng-update ilmu tentu tidak boleh berhenti bukan? Apalagi saya yang masih pemula.

Selamat membaca ulang ^_^

21 comments on “Pentingnya Membaca Ulang

  1. Dina Begum says:

    Satuju! Aku ga pernah ngirimin hasil terjemahan tanpa dibaca ulang. Setelah dibaca ulang pun pasti adaaaa aja yang ketinggalan. Apalagi ga dibaca ulang.

  2. lamfaro says:

    Setuju sama mba Dina. Kadang udah dibaca ulang, masih aja ada yang salah :p Gimana ya biar bisa superteliti?

    • bruziati says:

      Itulah gunanya sentuhan editor bukan? Hehehe. Yang penting kesalahan-kesalahan mendasar macam kelompat satu paragraf atau salah tulis dan sebagainya bisa dihindari.

  3. Aku juga suka baca ulang, tapi tetep aja suka kesandung n gigit jari sendiri 😦

    btw kalo mamih nyebut diri sendiri pemula, aku apa dong? +_+

    • bruziati says:

      It’s okay, manusia kan tidak ada yang sempurna. Yang penting sudah berusaha semaksimal mungkin, nggak setengah-setengah 🙂

      Momo mungkin bisa menyebut diri pemula muda wkwkwk

  4. Setuju banget. Aku biasanya tiga tahap: terjemah, sunting, baca ulang, terutama untuk fiksi atau nonfiksi naratif (seperti artikel NatGeo). Kalau nonbuku seperti situs web yang materinya sederhana dan ngga perlu berkreasi dalam menyusun kalimat, biasanya cuma dua tahap: terjemah, baca ulang.

    • bruziati says:

      Wow. Aku sunting dan baca ulang biasanya sekalian. Berarti Femmy lebih rapi lagi nih. Salut!

      • Lebih rapi, atau kerjaku lebih tidak efisien? Heheh… Soalnya ibundaku dan adikku juga biasanya cuma dua tahap, dan pada tahap kedua sudah tidak melihat teks asli, tinggal memuluskan kalimat.

        Kalau aku, pada tahap penyuntingan masih merujuk teks asli, masih memperbaiki kalimat, masih mencari kata yang tepat, kadang masih riset. Meskipun sudah diusahakan menerjemahkan maksimal pada tahap terjemah, tetap saja masih gatal pengen mengubah-ubah. Pada tahap baca ulang, baru fokus pada kewajaran kalimat, dan biasanya cuma berubah dikit-dikit, misalnya menambah kata “yang” atau “itu”, atau hal-hal kecil seperti itu.

      • bruziati says:

        Efisien atau tidak yang bisa menilai penerjemahnya sendiri sih hehehe.

        Yang jelas aku mah salut, karena aku nggak serajin itu. Di tahap kedua aku juga cuma sesekali melihat teks asli dan riset ulang, kalau ada yang terasa aneh dibacanya.

  5. Ada yang sampai terlewatkan satu bab? Wah, itu kebangetan. Tapi saya setuju dengan baca ulang dua kali. Kalau waktunya masih panjang, dan tidak ditunggu pekerjaan lain, bisa tiga kali.

  6. dewayanie says:

    Uci… lagi nerjemahin buku apa? novel yaah? *waiting*

  7. Rini Nurul Badariah says:

    Hmm… balik kanan baca ulang editan.

    • bruziati says:

      Eh, kalo editan perlu dibaca ulang gak yaa hehehe

      • Aku sih tergantung. Kalau aku editor luar yang ditugasi memeriksa terjemahan orang lain, pas mengedit tahap pertama kan pasti masih merujuk teks asli. Jadi masih perlu baca ulang untuk memeriksa kelancaran bacaan tanpa terikat teks asli. Tapi kalau aku editor di penerbit dan terjemahan dilakukan oleh penerjemah andal, mungkin cuma baca satu kali. Tujuannya lebih ke menggarap naskah untuk pengemasan.

      • bruziati says:

        Kalo aku selama ini baca editan sekali aja, tapi diulang-ulang sampai bener-bener puas 😀

      • Rini Nurul Badariah says:

        Buatku perlu, biar tidak terulang kasus ‘beri tahu’ dan ‘beritahu’ yang kemaren:)

  8. ayutuuh says:

    kalo aku, habis ngedit bukan baca ulang, tapi ngecek link ulang dan langkah-langkahnya takut masih ada yang salah hasil akhirnya. hahahaha, nasipkuh.. 🙂

Leave a comment