Tidak mungkin untuk tidak jatuh cinta pada hotel cantik ini. Tapi kesempatan istimewa untuk makan malam bersama pemiliknya, makin membuat saya terpesona. Walaupun menolak disebut eksentrik, tapi dari obrolan seru bersama beliau (makan malam dimulai pukul 19.30 dan baru selesai lewat tengah malam) kesan itulah yang saya tangkap.
Ternyata, pemilik Tugu Hotel (Blitar, Malang, Bali, Lombok), Dapur Babah, Lara Djonggrang, Samarra, Waroeng Shanghai Blue 1920 (Jakarta) ini tidak menyukai riuh-rendah dunia hotel maupun restoran. Dia sebenarnya membangun tempat-tempat itu untuk menampung koleksi barang antiknya yang berjumlah puluhan ribu! Jadi setelah selesai menata dan mendekor semua properti miliknya, dia jarang mendatanginya lagi untuk mengecek masalah operasional. Semua diserahkan kepada anak-anaknya atau manajer yang dipekerjakan secara profesional.
Bapak Anhar S. tidak menyukai publisitas, tidak suka keramaian, tidak suka pesta, tidak suka beredar di antara kalangan sosialita lainnya, tidak suka majalah Indonesia Tatler (if you know what I mean :). Liburan favoritnya adalah menyepi di losmen kumuh di tengah pasar Nepal, bangun tengah malam untuk mengamati bhiksu tua berjalan pelan memberkati setiap kios di pasar tersebut. Atau minum susu segar di pasar kambing yang telah berusia 1000 tahun. Hobinya mblasak mblusuk ke pasar tradisional di Indonesia, mengobrol dan bergaul dengan orang-orang yang sulit membuka pintu untuk orang asing, tapi punya banyak cerita dan informasi tentang barang antik. Dan untuk itu, dia punya koleksi baju rombeng yang dipakainya setiap kali keluyuran ke sana. Continue reading