Tanggal 7-8 Desember 2013, Goodreads Indonesia untuk keempat kalinya menyelenggarakan Festival Pembaca Indonesia, yang kali ini bertempat di Museum Bank Mandiri, kawasan Kota Tua Jakarta. Tahun ini ada pengalaman baru buat saya. Bersama teman-teman penerjemah / editor / penyelaras aksara, kami membuka lapak perdana yang diberi judul Pemburu Singa Mati alias gerombolan orang yang kerjanya dikejar-kejar dead line–>dead lion–>singa mati. Ceritanya bisa dibaca di sini dan di sini.
Saya ingin berbagi tentang dua acara yang saya pandu dalam festival kali ini. Yang pertama adalah workshop Menerjemahkan Novel Populer, dengan pemateri Poppy D. Chusfani. Buat yang tidak sempat daftar, tidak kebagian kursi, atau kelewatan acara ini, silakan unduh makalahnya di sini: Materi Workshop Penerjemahan IRF
Saya tidak akan berpanjang lebar membahas isi makalah, karena sudah disusun dengan rapi dan padat, serta mencakup poin-poin terpenting yang harus diperhatikan saat kita menerjemahkan novel populer. Tapi ada beberapa hal yang kembali saya garis bawahi selagi mendengarkan penuturan Poppy. Kenapa saya bilang kembali? Karena sebenarnya setelah beberapa lama menerjemahkan novel, hal-hal ini seharusnya sudah tertanam kuat di kepala, tapi kadang terlupa.
Pertama, kehati-hatian dan ketelitian. Setiap penulis punya ciri khasnya sendiri, setiap novel punya napasnya sendiri. Maka penerjemah wajib memahami apa yang dia baca, sebelum menerjemahkannya ke bahasa sasaran. Apakah novel itu bergaya formal atau informal, apakah si penulis sedang melontarkan idiom atau berbicara secara harfiah, apakah cerita berlokasi di Inggris atau Amerika, dan sebagainya. Jangan main terabas supaya tidak keluar dari konteks.
Kedua, asah kreativitas. Tidak semua novel menggunakan kata-kata atau gaya yang lazim dari awal sampai akhir. Ada yang memasukkan kata-kata aneh yang tidak ada di kamus, memuat pantun atau akronim yang berkaitan erat dengan jalan cerita, dan sebagainya. Penerjemah juga harus pandai mengarang untuk membuat terjemahan yang tidak setia tetap indah dan masuk akal. Saat workshop, Poppy melemparkan soal latihan seperti ini: Maybe I should check with the dean first, but you know what? Let’s just go! yang diterjemahkan menjadi: Seharusnya aku lapor dulu pada dekan, tapi peduli setan. Kita pergi saja! Dari puluhan peserta workshop, tidak ada yang terpikir menggunakan ungkapan ‘peduli setan’. Inilah yang disebut kreativitas. Karena meskipun terjemahannya tidak setia, tapi saat dibaca tidak melenceng dari maksud si penulis.
Ketiga, perkenalkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Salah satu tugas penerjemah menurut Poppy adalah mengedukasi pembaca untuk mengenal bahasa Indonesia, termasuk para pembaca muda dan anak-anak. Jadi, meskipun novel yang diterjemahkan bergaya informal, penerjemah tetap tidak boleh kebablasan dengan memakai kata-kata yang bukan kata baku, terutama untuk narasi. Misalnya ‘kesiniin dong’ sebaiknya diganti dengan ‘bawa ke sini dong’.
Laporan pandangan mata lainnya mengenai workshop ini, juga jawaban lengkap soal-soal latihan dalam makalah, silakan baca tulisan Retnadi Nur’aini di blog Halaman Satoe.
Talkshow ‘What They Write About When They Write About Love’ berlangsung pada hari kedua festival. Menghadirkan tiga penulis romance dari penerbit Gagas Media yaitu Christian Simamora (Pillow Talk, All You Can Eat,dll), Riri Sardjono (Marriageable, Time Will Tell), dan Nina Ardianti (Glam Girl series, Restart – memenangkan novel favorit Anugerah Pembaca Indonesia 2013).
Ketiga penulis ini bergantian membagi ilmu dan pengalaman dalam menulis novel romance. Berikut adalah beberapa hal yang saya garis bawahi dari penuturan mereka:
Tulis yang kamu suka, tulis yang kamu tahu. Jangan berusaha terlalu keras untuk menjadi berbeda atau mencoba menulis novel cinta yang belum pernah ada sepanjang sejarah. Hubungan cinta antar manusia telah berlangsung berabad-abad dan telah ditulis berabad-abad pula, sehingga tidak ada yang benar-benar baru dalam novel romance. Yang dicari pembaca adalah gaya bertutur serta cara bercerita yang memikat. Seklise apa pun ceritanya, jika gaya bertuturnya menarik, pasti bikin betah dibaca.
Happy ending menjadi keharusan dalam genre ini. Jika senang akhir yang tragis atau jalinan cerita penuh tragedi, mungkin sebaiknya memilih genre lain seperti drama, misalnya. Memang, pembaca pasti sudah tahu bakal seperti apa akhir dari cerita yang sedang dibaca, tapi kembali lagi, plot yang menarik dan gaya bertutur menjadi unsur terpenting dalam novel romance. Ending yang menggantung boleh saja, tapi pastikan pembaca bisa membayangkan seperti apa akhir dari kisah tersebut. Jangan sampai pembaca garuk-garuk tembok karena benar-benar tidak tahu seperti apa akhir kisahnya setelah membaca ratusan halaman.
Mengenai tokoh-tokoh lelaki yang too good too be true, Riri dan Nina mengatakan bahwa saat menulis novel romance, mereka memang menciptakan karakter pria yang sesuai dengan impian banyak perempuan. Jika senang dengan tokoh pria yang ‘penuh masalah’, kembali lagi ke poin di atas, mungkin harus mencoba genre lain. Namun harus diingat, setiap karakter mesti dibuat dengan cermat. Siapa namanya, apa pekerjaannya, seperti apa gaya berpakaiannya, dan sebagainya.
Gunakan pengalaman membaca sebagai pemandu saat menulis karya sendiri. Dari sekian banyak buku yang dibaca, pasti sudah tahu plot seperti apa yang bikin kita muak, sebal atau malah tergila-gila. Berarti kita bisa tahu plot seperti apa yang sebaiknya dihindari saat hendak menulis karya kita sendiri.
Setelah novel kita berhasil terbit, Jangan jadi penulis yang defensif. Biarkan pembaca menilai karya kita sejujurnya, karena selera tidak dapat dipaksakan. Christian mengungkapkan bahwa setelah menulis sepuluh buku, dia bisa melihat mana pembaca yang benar-benar mengikuti karya-karyanya dan mana yang hanya trolling.
Semoga bermanfaat 🙂
Foto-foto milik : Lulu Fitri Rahman, Poppy D. Chusfani, Didiet Prihastuti, Gagas Media
Like this, like this. Makasih sudah berbagi Uciiii. Duh cuma bisa iri membayangkan kalian hore-hore di sana.
Sama-sama Ken. Semoga IRF bisa boyongan ke Jogja ya kapan-kapan 🙂
Horeee, saya hadir di workshop yg hari Sabtu… sangat menyenangkan dan berguna sekaliiiii… ^_^
Group huuuug #lho 😀
makalah materi workshop penerjemahannya sangat bermanfaat sekali khususnya bagi saya yang tak bisa bergabung di acara ini, terima kasih banyak sudah memberikan tautan untuk mengunduhnya 🙂
Sama-sama Mbak 🙂
Mantap, komplit, bermanfaat. Ini khususnya buatku yang hanya bisa menghadiri satu acara saja. Bravo Uci. *Indria Salim*
Terima kasih Mbak, semoga berguna 🙂
Reblogged this on ..Life Scratches...
Terima kasih tak terhingga Mbak Uci…hehehe.
Kembali kasih Roos yang baiiiik ^_^
Makasih tautannya, Mbak Uciii..
Sama-samaa 🙂
yeay, akhirnya ketemu mbak Uci 🙂
[…] Selain pameran pembaca dan komunitas, IRF juga menawarkan berbagai talkshow dan workshop, yang kesemuanya gratis. Kebetulan tema talkshow yang diadakan tidak ada yang sesuai dengan minat saya, workshop pun hanya sebagian yang saya minati, dan karena tempat yang terbatas, maka saya hanya mendapatkan tempat di Workshop Fun Library Management. Di sini, kita diajarkan cara menggunakan aplikasi SLiMS (Senayan Library Management System), yang sayangnya menurut saya terlalu superfisial. Ya, mungkin benar bahwa waktu dua jam saja tidak cukup, tapi setidaknya saya tahu bagaimana menggunakan SLiMS secara umum, juga mendapatkan panduannya untuk dipelajari sendiri di rumah. (Satu lagi workshop menarik yang tak bisa saya ikuti ada LPMnya di sini). […]