Puluhan tahun tinggal di Jakarta dan kemudian Jakarta coret, dengan malu saya mengakui belum banyak menjelajahi museum di kota tercinta ini. Niat sudah ada, tapi tak pernah terlaksana. Maka ketika diajak berkeliling museum seharian, saya menyambutnya dengan senang hati. Bersama Sisil, Dylla dan Lysa, saya berencana mengunjungi museum-museum di Jakarta Pusat dan area Kota Tua.
Perhentian pertama kami adalah Museum Gajah di seberang Monas. Sayangnya saya datang belakangan karena terjebak macet (maklum rumah paling jauh di pelosok), jadi cuma sempat foto-foto di depan museum. Hari Sabtu itu museum cukup ramai oleh turis lokal dan mancanegara, juga rombongan karyawisata dari SD sampai mahasiswa. Menurut teman-teman yang sempat berkeliling di dalam, bangunan baru Museum Gajah sangat bagus dan rapi. Saya jadi ingin kembali lagi di lain waktu, mungkin bersama keponakan-keponakan, supaya mereka belajar sejarah juga.
Omong-omong, saya baru ngeh di depan museum ini ada prasasti bertuliskan judul lagu SBY, Ku Yakin Sampai di Sana. Maksudnya apa yaa?
Tujuan kami berikutnya adalah Museum Bank Indonesia. Dari Museum Gajah, kami hanya perlu naik transjakarta ke halte Kota, karena museum ini terletak persis di seberang halte, bersebelahan dengan Museum Bank Mandiri. Saya cukup sering berkunjung ke Museum Bank Mandiri, karena beberapa acara perbukuan pernah digelar di sana. Museum ini juga kerap menjadi lokasi atau titik awal wisata Jelajah Kota Tua yang saya ikuti.
Secara desain dan struktur bangunan, Museum Bank Indonesia sama persis dengan Museum Bank Mandiri. Atrium di tengah bangunan, tangga di pintu masuk, kaca patri di dinding depan. Tetapi berbeda dengan Museum Bank Mandiri yang sejak dulu memang berfungsi sebagai kantor dagang, Museum Bank Indonesia awalnya digunakan sebagai rumah sakit. Bentuknya yang sekarang merupakan hasil renovasi di tahun 1910-1935, setelah tahun 1828 dialihfungsikan menjadi kantor De Javasche Bank.
Terus terang saya kaget juga waktu menginjak museum yang tidak memungut uang masuk ini. Berbeda dengan Museum Bank Mandiri yang terkesan ‘seadanya’, penataan dalam museum Bank Indonesia sangat rapi dan menarik. Dengan bantuan multimedia dan tata cahaya yang dramatis, pengunjung dibawa menyusuri lorong berliku, mengikuti perjalanan perekenomian Indonesia sejak zaman penjajahan. Termasuk krisis moneter yang memicu kerusuhan massal di tahun 1997. Salah satu bagian favorit saya adalah ruang pamer mata uang dari zaman kerajaan sampai zaman modern, dari berbagai negara.
Mengenai kondisi museum yang amat terawat, mungkin karena Bank Indonesia uangnya lebih banyak, dana perawatan museumnya pun lebih besar dibandingkan museum sebelah hehehe. Bagus deh, jadi rakyat juga bisa menikmati museum yang keren seperti ini, bukan cuma tahu kalau BI itu makmur, tapi nggak pernah ikut merasakan kemakmurannya (mulai deeeh :D)
Selanjutnya kami melangkah ke Museum Fatahillah, yang hanya berjarak beberapa meter dari Museum Bank Indonesia. Sayangnya museum ini sedang direnovasi, jadi tidak banyak ruangan yang dapat dijelajahi. Museum yang juga dikenal dengan nama Museum Sejarah Jakarta dan Museum Batavia ini, dulunya merupakan Balai Kota (Stadhuis), dan untuk masuk ke museum ini pengunjung dikenai biaya 5000 rupiah.
Hanya beberapa langkah dari Museum Fatahillah, berdiri megah Museum Seni Rupa dan Keramik dengan pilar-pilar tinggi di bagian depan. Tiket masuk untuk museum ini juga seharga 5000 rupiah. Di bagian seni rupa, agak miris juga sih melihat lukisan Basuki Abdullah, Sudjojono dan Antonio Blanco dipajang seadanya dan bisa dipegang-pegang dengan bebas oleh pengunjung. Ditambah pendingin ruangan yang tak terlalu berfungsi, entah berapa lama lukisan-lukisan di sini mampu bertahan dengan kondisi prima.
Di bagian keramik, koleksinya juga tidak terlalu banyak sehingga tak butuh waktu lama untuk menjelajahinya. Omong-omong lagi, selama berkeliling di sini, kami beberapa kali menemukan pasangan muda yang berkencan di taman museum. Yah, dengan uang masuk hanya 5000, dapat tempat romantis yang sepi, lumayan juga kali daripada ngabisin uang di mal 😛
Dari Museum Seni Rupa dan Keramik, kami sebenarnya masih ingin melanjutkan ke Museum Wayang dan Menara Syahbandar. Tapi karena sudah lewat pukul 3 sore, museum-museum sudah tutup. Mudah-mudahan di lain waktu kami bisa melanjutkan tur museum ini dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Selain wisata museum, area Taman Fatahillah dan sekitarnya juga jadi tempat yang asyik buat nongkrong. Terlihat dari banyaknya warga yang memadati area tersebut untuk sekadar menikmati jajanan, keliling-keliling naik sepeda onthel, atau foto-foto. Kami pun tak mau ketinggalan untuk berfoto dengan manusia patung yang mangkal di depan Museum Wayang.
Secara keseluruhan, kami cukup puas dengan penjelajahan hari ini. Tapi, seperti banyak warga lainnya, kami sungguh berharap program restorasi Kota Tua yang direncanakan Gubernur Jokowi dapat terwujud sehingga bangunan-bangunan dan museum-museum di sana lebih terawat, wilayahnya lebih tertata dan yang penting, lebih banyak tempat sampah tersedia, supaya sampah tidak berserakan di mana-mana dan mengganggu pemandangan.
Sebagai perhentian terakhir sebelum pulang, kami pindah tempat ke daerah Menteng, tepatnya restoran dan galeri Tugu Kuntskring Paleis. Walaupun bukan museum, tapi bangunan ini juga termasuk situs bersejarah di Jakarta. Didirikan tahun 1914, bangunan ini pernah menjadi markas Kuntskring (Art Circle) sampai tahun 1936, lalu kantor pusat Majelis Islam A’la Indonesia, Kantor Imigrasi, Buddha Bar, dan terakhir Bistro Boulevard.
Kapan ini jalan-jalannya, Ci? Sepi amat Jakarta. Asyiknya…
Hari Sabtu kemarin Lu. Sebenarnya nggak sepi-sepi amat sih, cuma pas lagi lampu merah aja hahaha
Waaa, pengin banget jalan-jalan begini juga, Mbak. Mumpung di Jakarta, hehehe…
Ooh lagi di Jakarta toh? Ayuk lah jalan-jalan 🙂
oooh, ini tho yang fotonya kemarin nyasar di grup cempreng.. #salahfokus
mamih suka ke museum? ih tahu gitu aku ajakkin kalo ada jelajah apa gitu… 🙂
Ayuuuu kan kita pernah jelajah bareng waktu malam Imlek dulu
aku penasaran sama Kuntskring deh. kmrn sempat liat dr jauh. pricey bgt yah makanannya kak? *ngurek2 celengan*
Nggak pricey lah, kalau buat auditor seperti dirimu 😉
Dan kalau cuma mau menikmati suasana, sebenarnya bisa pilih menu-menu ringan aja sih, biar nggak terlalu menguras kantong
seru sekali ya jika mengunjungi tempat bersejarah? apalagi diakhiri dengan makan makan,, hehe
Penasaran sama Kuntskringg.. >_< ngga boleh ya kesana cuma liat2 aja? Ahahaha..
Bentuk cinta sejarah, dan mengenali lebih jauh sejarah indonesia..