He is everything. But I’m very lonely. And I think to be with somebody and not really with him is…I think I might be less lonely if I were alone.
Kay dan Arnold sudah menikah selama 31 tahun. Dari luar, tidak ada yang salah dalam perkawinan mereka. Mereka masih saling menyayangi. Dua anak mereka sudah hidup mandiri dan sesekali menengok mereka tanpa ribut-ribut. Kondisi keuangan mereka baik-baik saja, meski tidak berlebihan. Mereka hanya sudah sampai pada titik ketika perkawinan menjadi sekadar sebuah rutinitas. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, pergi ke tempat kerja, pulang, makan malam, obrolan basa-basi, lalu tidur di kamar masing-masing. Ya, mereka tidur terpisah. Bukan karena bermusuhan, tapi gairah itu memang sudah memudar. Terutama di pihak Arnold yang tidak merasa nyaman tidur satu ranjang dengan istrinya.
Walaupun Arnold merasa perkawinan mereka tidak bermasalah, namun Kay ingin mengembalikan ‘keajaiban’ dalam hubungan mereka yang hambar. Dia tertarik membaca sebuah buku karangan Dr. Feld (Steve Carrell), seorang couples therapist dan mendaftar untuk mengikuti konseling intensif selama seminggu penuh di Dr. Feld’s Center for Intensive Couples Counseling, di Hope Springs, Maine. Arnold dengan ogah-ogahan menuruti keinginan sang istri yang menurutnya tidak masuk akal, terutama karena biaya konseling tersebut tidak murah, $4000. Belum lagi biaya pesawat dan penginapan yang harus ditanggung.
Sesi-sesi konseling mendominasi keseluruhan film, dan di sinilah kepiawaian Meryl Streep serta Tommy Lee Jones sebagai aktor terlihat jelas. Adegan demi adegan yang tidak membutuhkan banyak gerak membuat mereka harus menampilkan beragam ekspresi untuk menggambarkan emosi mereka. Malu-malu (Kay) dan tersinggung (Arnold) ketika diminta menceritakan kehidupan seks atau putus asa dan sedih ketika eksperimen sentuhan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ya, pasangan yang sudah hidup bersama selama 30 tahun lebih ini ternyata harus belajar untuk saling menyentuh lagi, karena pada satu titik dalam kehidupan perkawinan, mereka berhenti bercinta. Begitu saja.
You wouldn’t think it would be so hard to just touch somebody that you love. But it is. It’s really hard.
Cerita film ini sungguh sederhana, namun mengena karena begitu dekat dengan kenyataan. Entah berapa banyak pasangan menikah yang sudah bersama-sama selama puluhan tahun, selalu rukun dan damai, tapi dalam hati mereka mungkin menyimpan kebosanan. Bisa jadi karena tidak ada lagi yang dinantikan. Sudah punya rumah, sudah punya tabungan, sudah punya anak, sudah punya cucu. Hidup pun mengalir begitu saja tanpa ada gejolak.
Di luar kisahnya yang indah, saya lagi-lagi berpikir bahwa aktor-aktris senior Hollywood seperti Streep dan Jones ini sungguh beruntung. Banyak naskah bagus yang masih menempatkan mereka sebagai bintang utama, bukan sekadar menjadi ibu-bapak atau nenek-kakek dari tokoh utama.
Jadi, saya merekomendasikan Hope Springs untuk ditonton para pasangan, baik yang baru menikah dan masih mesra-mesranya, maupun yang sudah sampai di fase ‘tenang’ (Walaupun saya tidak yakin suami saya bakal betah nonton film drama kayak begini. Pasti dia ketiduran :D) Salah satu pelajaran yang saya dapat dari film ini: Seks memang bukan segalanya dalam perkawinan, tapi jangan sampai meninggalkan atau tidak membicarakannya sama sekali hanya karena ‘tidak nyaman’.
Even great marriages have terrible years. So bad that you’re tempted to just give up. But don’t. Hold on. There’ll come a time when you look back at this moment as the prelude to something fuller and richer than you’ve ever dreamed. (Dr. Feld)
Hidup bahagia selamanya mungkin terdengar terlalu muluk, tapi bukannya mustahil. Semoga saja kami bisa sampai di sana… 🙂
Judul : Hope Springs
Genre : Drama, Comedy, Romance
Sutradara : David Frankel
Penulis Naskah : Vanessa Taylor
Pemain : Meryl Streep, Tommy Lee Jones, Steve Carell
Rilis : Agustus 2012
Penghargaan : Meryl Streep dinominasikan untuk Golden Globe 2013 dalam kategori Best Performance by An Actress in A Motion Picture – Musical or Comedy.
4 bintang